*tulisan ini sebenarnya aku kirim untuk dipublish di sebuah koran online, yang beberapa tulisan opini di situ anehnya seperti mendukung langkah aneh yang diambil oleh pihak-pihak terkait pemilihan walikota beberapa waktu yang lalu, biasanya tulisanku sebentar juga publish, tapi ini sudah sehari belum ada kepastian. jadinya aku paste di sini aja..
nunggu besok deh, kalo belum terbit juga aku publish di sini aja deh. (tulisan ini juga sudah aku posting di Kompasiana dengan sedikit perubahan)
--
Makna Waktu Dan Logika Pemilihan
Setelah beberapa kali membaca pendapat beberapa orang tentang proses pemilihan kepala daerah di sebuah kota, rasanya tak salah jika turut serta memberikan opini dari sudut yang sedikit berbeda.
Hal ini tergelitik oleh tulisan-tulisan yang selalu menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah kemarin sudah sesuai aturan. Hal tersebut selalu menjadikan Keputusan Ketua KPU 1774 tahun 2024 sebagai satu-satunya acuan dalam pemilihan seorang kepala daerah.
Beberapa pendapat malah seperti melupakan bagian utama terkait dengan calon tunggal peserta Pilkada. Pasal 54 C ayat (1) huruf e. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang dinyatakan bahwa Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.
Itu artinya pelaksanaan Pilkada memang bisa terus dilanjutkan, walau diskualifikasi salah satu pasangan yang menjadi penyebab adanya calon tunggal. Akan tetapi pada ayat (2) pasal yang sama dijelaskan dengan terang benderang bahwa Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.
Jadi kalau dikatakan bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah sudah berdasar petunjuk teknis Komisi Pemilihan Umum, itu tak salah. Hanya entah kenapa petunjuk teknis yang seharusnya memperjelas dan turunan dari peraturan di atasnya justru mengabaikan hal krusial yang mengatur penggunaan kertas suara yang sah. (Pasal 80 Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024)
Semua orang pun tahu akan kondisi sah tidaknya pasangan yang mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah berikut konsekuensinya. Rasanya masyarakat pun cukup cerdas untuk sekedar mengetahui bahwa jika mencoblos calon yang sudah didiskualifikasi itu dianggap tidak sah.
Walau bagaimanapun sikap warga negara terkait pilihannya, itu merupakan hak mereka. Bahkan memilih untuk tidak memilih pun adalah hak, dan semua itu dijamin kerahasiaannya. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di bilik suara saat pemilihan berlangsung.
Jika ada yang mempermasalahkan proses pemilihan yang terjadi, itu semata-mata mempertanyakan peraturan yang ditetapkan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan yang sering diistilahkan dengan pesta demokrasi. Ada yang berpendapat bahwa demokrasi akan berjalan baik jika semua pihak menghormati proses pelaksanaannya.
Bukankah demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Jika masyarakat sudah menjatuhkan pilihannya, walaupun dianulir atas nama peraturan pelaksana. Itu sekali lagi adalah hak mereka. Tak elok rasanya kalau ada yang berpikir jika hal tersebut dilakukan karena bujukan atau hasutan siapapun. Apalagi juga tanpa ada bukti yang jelas sama sekali.
Kalaupun ada dalih bahwa keputusan resmi yang harus dihormati, lalu apa kabar Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pilkada? Pada pasal 80 peraturan tersebut kembali ditegaskan tentang detil ketentuan coblosan dan kertas suara yang digunakan saat pilkada yang diikuti oleh hanya satu pasangan kontestan.
Kalaupun nanti pada akhirnya pada saat penetapan pemenang pemilihan penyelenggara tetap berpedoman pada dasar aturan terkait ketidakabsahan calon peserta pilkada, kembali lagi harusnya memperhatikan makna jumlah dan persentase sebagaimana pasal 54D Undang-Undang Pilkada.
Memang keputusan atas penetapan tersebut adalah wewenang penyelenggara hajatan, apapun hasilnya. Hanya saja sejarah akan mencatat, bagaimana nasib suara masyarakat di sebuah kota pernah terkendala dilema kertas suara usang, yang tak sempat tergantikan dengan cetakan baru karena beberapa pihak berpikiran bahwa waktu adalah uang.
Terakhir, sesuai judul acara. Logika kegiatan yang bernama pemilihan, akan selalu ada lebih dari satu objek untuk dipilih. Jikalau sudah tak ada opsi pilihan, lalu buat apa diadakan pemilihan? Istilah memilih pun menjadi kehilangan makna sesungguhnya. Wallahualam.
Komentar
Posting Komentar