Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2013

Bohlam Minyak Tanah

Mendengar kata lampu bohlam , ingatan saya langsung putar balik ke jaman saya masih sekolah dasar, itu sudah puluhan tahun yang lalu, kalau kamu mau tahu. Saat dimana kampungku belum dimasuki listrik, tempat rumah kakekku pun demikian, padahal cuma sepuluh kilometer jaraknya dari ibukota propinsi, keren ya ? Tapi kai, sebutan untuk kakekku, tak ada aliran listrik bukan berarti tak ada lampu listrik di rumah, walau isinya bukanlah filamen listrik, tapi dimodifikasi beliau menjadi lampu minyak tanah yang secara de jure adalah bohlam. Caranya nyaris sama dengan postingan prima tentang vas bunga dari bohlam . Langkah-langkahnya kurang lebih sama, cuma isinya bukan air, tapi minyak tanah, lalu dikasih sumbu dari kain bekas, sementara tutup dari bagian atas bohlam yang terbuka adalah potongan tube odol bekas. Dulu, saya terkagum-kagum dengan kreativitas kai saya itu, senang melihat rumah yang walaupun tanpa listrik tapi tetap ada nyala dari bohlam yang secara de facto adalah lampu miny

Aku Disini Untukmu

Semenjak dari pelabuhan Perak, pedalaman Randublatung sampai terdampar di asrama mahasiswa di sudut AM Sangaji Jogja dua minggu kemudian, lirik itulah yang terngiang-ngiang, berulang-ulang, meneriakan undangan ketidaksabaran, untuk segera kembali berusaha memendekkan jarak. Dua tahun bukanlah waktu yang sedikit, dihitung dengan cara apapun tetap sama : lama.  Dan sekarang adalah kesempatan datang dengan sendirinya, lelaki itu sudah bersiap-siap dan bergegas entah sejak kapan.  Tersenyum membayangkan rel besi yang akan diarunginya, hal dan sesuatu yang benar-benar asing baginya. Tapi hey, dua belas jam tidak terasa.  Hingga tiba-tiba saja dirinya ada di suatu pagi di sudut Batu Tapak.  Dan gadisnya mengucapkan salam, di depan pintu. -- *menjelang senja di Lempuyangan, maret 1997

Satu Hati

Kamar kedua dari ujung, di belakangnya kamar mandi.  Tiga kali tiga meter, bercat putih kusam, didindingnya, tepat di meja depan belajar, ada foto kecil, sesosok gadis berkerudung merah jambu, tersenyum disitu.  Didinding satunya, ada juga foto seseorang yang tertunduk, berkaos coklat, masih orag yang sama. Dan di depan pintu, gadis yang sama, tersenyum-senyum, berbagi cerita dengan lelakinya, setelah setahun tidak bertemu.  Kota hujan dan kota lelakinya tak dekat untuk ditempuh berjalan kaki, hanya ada lembaran-lembaran surat,, dan interlokal tengah malam sebagai penyambung rasa, rindu katanya, namun tak pernah terucapkan. Beberapa menit kemudian mereka beranjak, rencananya ke riam kanan, mungkin saat itu kau tidak tahu. -- *suatu pagi, di sudut malvinas, 1995

Aku Milikmu

Angkot warna hijau tua melaju, di dalamnya tersisa dua penumpang, seorang pemuda, dan gadisnya.   Tanpa mampu memandang indah gadisnya, si lelaki menyerahkan bungkusan berbentuk kotak, kaset isinya, Dewa 19 jilid format masa depan, ditebusnya dengan nyaris seperempat jatah bulanannya.    Tapi tak mengapa, saat itu, beberapa hari lagi adalah ulang tahun gadisnya, dan beberapa hari lagi pula, ia akan ditinggalkan.   Tak tahu entah sampai kapan. Dua hal yang menjadikan kaset itu sebagai pilihan, yang pertama adalah fakta bahwa mereka berdua menyukai Dewa, kedua adalah ada lirik lagu ulang tahun di dalamnya. Angkot terus melaju, menuju pertigaan jalan menuju rumah sang gadis.   Dan hanya suara angkot, jalanan, hembusan angin yang meraja.   Mereka mash terdiam, penuh dengan pikiran masing-masing, akan esok yang akan diisi oleh jarak, mungkin memang baiknya hanyalah menikmati diam dan jarak yang begitu dekat. Sebelum esok datang, dan menunggu waktu kembali menjadikan keduany