mungkin karena sebentar lagi lingkungan itu bakal tinggal kenangan, sepetak tanah punya nini akhirnya akan berpindahtangan juga, satu hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan di masa kecil
nyaris satu RT di sekitar rumah punya kaitan keluarga, dari titik sebelum langgar di timur sampai dengan sekolah dasar di barat, dari sebelah langgar adalah rumah paman, terus ke samping langgar yang adalah rumah abuya begitu dulu kami memanggilnya, yang agak menjorok ke utara rumahnya, yang ada pohon mangganya di kanan rumah, walaupun sering berbuah lebat tapi kami banyak yang takut mengambilnya, bahkan yang telah jatuh ke tanah, rasanya karena takut sama nini pemilik pohon.
samping barat langgar adalah rumah abah Maria yang dulu usahanya bikin kerupuk, kemudian ada rumah amang Jidi & acil Hilal yang memanjang ke belakang.
Sampingnya lagi rumah paman Jali, yang sering diolok-olok anak-anak dengan nama Jali Ateng karena perawakannya yang mirip dengan pelawak kondang itu, tentu saja siapa yang ketauan manggil beliau begitu bakal kena damprat.
Ke barat lagi adalah rumah Yadi, yang sedari kecil cuma tinggal dengan ibunya, sepupu yang bikin aku iri seumur hidup karena dulu dibelikan sepeda BMX merk Golden Eagle yang warnanya kuning keemasan, sepeda yang dulu tak pernah bisa dibeli dan dimiliki.
Sampingnya adalah rumah keluarga amang Amat & acil Isam yang sederhana, di depannya ada pohon jambu yang dulu sering aku naiki untuk metik kembangnya trus nektarnya aku sedot, akhirnya lama-lama kegiatan itu ketauan dan dimarahi karena jumlah jambu jadi berkurang.
Depan rumah amang Amat adalah rumah paman & sepupu yang tiba-tiba aku lupa namanya, depan rumahnya adalah sungai, yang dulu cukup dalam untuk berenang dan menyelam, samping rumah adalah bengkel mobil yang spare partnya seringkali bikin penasaran.
Ke timur lagi adalah rumah paman Mail yang terbuat dari kayu ulin dan kerjaannya nyetir mobil taksi rute Banjarmasin-Martapura yang berwarna orens, seringkali kami menunggu acara selamatan setelah mobil baru diperbaiki dengan ritual makan kakoleh di dalam mobil, baca doa, trus mobil disiram air kembang yang telah dibacakan doa, terus rombongan anak-anak yang hadir diajak jalan-jalan dengan mobil itu ke arah lapangan terbang alias bandara di Ulin.
Rumah paman Mail itu juga favoritku karena diam-diam punya koleksi perangko yang langka dan cukup langka, entah bagaimana beliau bisa memiliki koleksi seapik itu. Pernah aku memberanikan diri untuk meminta salahsatu koleksinya, dan tentu saja ditolak.
Samping rumah paman Mail adalah rumah Ijah yang sekolah di Banjarbaru dan adingnya Ipah, rumah yang akhirnya dijual sama keluarga Aril anak pa haji yang rasanya tak ada hubungan keluarga dengan penghuni lama, rumah itupun akhirnya berpindah tangan dan sekarang jadi ruko sekaligus showroom mobil.
Di sampingnya itulah rumahku, yang dulunya adalah rumah datu, rumah yang ditinggalin tak lama setelah aku lahir dulu, dan hidupku berputar-putar sekitar situ saja selama belasan tahun. Di depan rumah mengalir sungai yang jernih saat musim hujan dan kering sama sekali saat musim kemarau, di sisi sungai tepat di depan rumah ada pohon hampalam alias mangga lokal yang akarnya mencuat tempat kami sering nongkrong untuk mandi.
Tepat depan rumah ada jembatan yang tak seberapa lebar tapi terbuat dari kayu ulin, kadang diperbaiki secara berkala oleh abah.
Di belakang rumah adalah rumah nini, pemilik sebenarnya dari tanah yang kami tempati, tinggal bersama acil dan paman, di belakang rumah nini adalah sawah yang membentang jauh sampai ke utara, area persawahan yang sering kami sebut dengan darat.
Samping rumah kami adalah rumah Selamat, sepupu dan kawan akrab di masa kecil, keluarga jauh yang hidupnya cukup prihatin, akhirnya pindah dan tanahnya ditempati oleh keluarga Isla yang bikin rumah mepet sekali sehingga jendela sisi barat tertutupi dan menjadi gelap setelahnya.
Depan rumah Isla ada kuburan keluarga, di antaranya kubur kai dan dua adingku. antara kuburan dan pohon hampalam ada jalan setapak ke arah timur yang melewati rumah Amang Nadi yang dekat dengan pohon Kasturi, dari pohon itu ada halaman yang cukup luas, memanjang ke utara hingga ke teras rumah Nani, sepupu cewek yang menurutku dulu cantik dan kaya raya, pindahan dari Banjarmasin. Di ruang tamu punya usaha jasa setrum aki, di rumahnya punya pemutar piringan hitam, sementara di belakang rumah ada kandang ayam yang kemudian tutup.
Melompat sedikit ke barat melewati aliran sungai kecil, ketemu dengan rumah yang empunya aku lupa ada kaitan keluarga atau bukan, yang jelas putrinya adalah kawan sekolah adik pertamaku. Sampingnya adalah rumah.. duh lupa namanya, tapi aku ingat wajahnya yang khas dan badannya yang tinggi hitam.
Ke timur lagi ketemu dengan rumah abahnya Yadi, yang disampingnya ada jalan kecil ke utara menuju SDN Dirgahayu. Dekat situ ada rumah amang gayat, begitu kami memanggilnya karena kerjaan beliau manggayat atau memotong pohon, memang ada pemotongan kayu ulin atau sirkal di depan rumahnya. Sepupuku Kia, Amin dan Amat yang tinggal di situ.
Samping rumah amang gayat adalah. rumah Alam, anak sulung amang Ibus yang kawan seangkatan kerja dengan gubernur sekarang, sampingnya lagi adalah workshop meubel yang dulu punya benang jenis marlon yang mengagumkan.
Barat pabrik mebel yang sekarang jadi tempat jualan pelek mobil ada banguna posyandu, tempat adikku sempat kerja di sana selepas lulus sekolah, dan sampingnya masuk area pesantren sekaligus panti asuhan yang punya masjid untuk tujuan kami sholat jum'at.
Mungkin sampai sini dulu nostalgia masa kecil untuk sisi utara jalan yang dulu tak selebar sekarang, nanti kalau ingat akan mencoba menggali ingatan akan rumah-rumah di sisi selatan jalan.
Komentar
Posting Komentar