Anehnya, ucapan itu dilontarkan oleh seorang kawan yang cukup akrab sewaktu kuliah di Jogja, sedikit kaget juga dan menyebalkan tentunya. Gimana tidak aneh kalau seseorang mengucapkan atau mengungkapkan sesuatu yang jelas-jelas orang lain tidak menyukainya.
Gara-garanya karena kasus tanah adat yang mau digusur jadi perkebunan sawit, saya jelas-jelas menentangnya, tapi teman saya- mungkin karena dia bekerja di kementerian yang ngurusin kayu dan kerusakan habitatnya itu- mengalihak fokus ke urusan korporasi. Entahlah, kalau bicara masalah perusahaan dan urusan hukum, seringkali skeptis aja bawaannya.
Kelanjutannya ya mancing-mancing esmosi aja kerjaannya. Sudahlah cuekin saja.
Satu lagi, temen di kantor yang juga sebelumnya cukup akrab dan tak ada masalah. Suatu saat berkoar-koar minta masukan tentang rencana pertemuan tatap muka dengan orang-orang dari luar kantor. Di masa yang sedang penuh penyakit gini, coba. Saya kasih saran untuk pake aula yang gede di lantai 3, bukan ruangan sempit yang rencananya mau dipake di lantai 1, itu pun jikalau terpaksa tak bisa menggunakan fasilitas vidcon. Apakah saran saya didengar? Otentu saja tidak, maha benar dia dengan segala tindakannya. Lalu saran macam apa yang diharapkan sebenarnya.
Beberapa orang di kantor memang meremehkannya, bahkan bos sendiri seperti yang pernah saya ceritakan.
Ujung-ujungnya, ada yang saya cuekin, ada yang saya blok, dan saya pikir grup whatsapp kantor pun tiada gunanya lagi makanya mending keluar. Oh, mengenai sumbu yang begitu cepat terbakar itu, walau sudah cukup lama saya beberapa kali nge-mute, unfollow, dan semacamnya, demi memelihara pikiran saya untuk tetap tenang. Tapi rasanya akhir-akhir ini hal-hal seperti itu semakin intens saya lakukan.
Mohon maklum.
Sangat dimaklumi.
BalasHapus*tepuk-tepuk pundak mas Rd*
@silvavyaa
Hapusmakasih makasih :D
hedeeh.. kalo istilah anak sekarang, toxic relationship.. mending dibuang saja, daripada merusak diri sendiri.. dianggap sumbu pendek, ngeselin, terseraah..
BalasHapusnah, begitulah, suwun kang
Hapus