Langsung ke konten utama

tentang earbuds Qlabs Gods Series

entah gimana ceritanya, saya kembali khilaf dengan gadget pemuas kuping.  Akhirnya minta bikinin earbuds yang sistemnya pre order ke Qlabs.  Dulu pernah punya Qlabs #2, tuningannya rada beda sih, tapi enak aja.  Dan setiap buka PO dulu pasti produknya habis dipesan dalam hitungan jam.  Yang tuning sih mas Teguh Poery, tapi kali ini mas Gregorius Eddo juga gabung dalam Qlabs.  Produk yang saya pesen adalah God Series, tuning custom sesuai pemesan.

Awal pesan saya ya bingung, diminta maunya gimana: warm apa bright, trus bla bla bla, bingung pokoknya saya haha.  Akhirnya diminta playlist lagu yang sering diputer, makin bingung karena lagu-lagu saya kan random, bisa dari rock, dangdut sampai lagu2 Jepang & Korea.

Setelah konsultasi bahan dan budget, akhirnya disepakati Gods Series saya pake kabel copper silver dan jack CC Rhodium.  Pesanan saya kelar setelah nunggu antrian selama kurang lebih dua bulan, dan hasilnya.. wah sangat memuaskan euy.  Sesuai maunya saya, mintanya yg all rounder, jadi semua lagu terasa enak.  Seperti kata mas Teguh, sang builder, bahwa earbuds saya itu mid-low, dan highnya pas dan enak semua.. err masalah teknis gituan saya jg ga ngerti, intinya terdengar enak di semua sektor.  Dengan catatan tentu hasil mixing lagu dan kualitas file musiknya bagus.  Tapi karena saya sering denger lagu dari Spotify (dan baru-baru ini senang dengan youtube music) jadi ya terasa enaque semua.

Apalagi setelah mengalami proses burn in puluhan jam, rasanya ini sudah lebih cukup untuk dijadikan pemakaian sehari-hari.  Cuma rada sedikit gatel aja sih pengen ngganti jack hehe

*difoto dengan Canon Powershot G7X

Komentar

  1. wah, gue br tau kl earbuds bisa request macem2. itu gmn sih ikutannya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya pesen aja kang sesuai keinginan hehe

      Hapus
  2. Baru pertama kali komentar di sini kali ya 😅 Terakhir earbud buatan lokal yang cukup nyaman saya pakai dari merk Elibuds Sabia. Tapi pada dasarnya saya kurang suka earbud karena untuk pemakaian harian jangka panjang lebih nyaman menggunakan headphone over ear. Sekarang sedang beralih dari sennheiser menuju takstar. Tapi memang iya, gadget pemuas kuping itu makin lama makin menjadi kebutuhan dasar. 🥺

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah saya jg masih pakai sabia kok, dulu rasanya pernah punya seri 5, 6 dan 7, skarang sisa dua seri terakhir. Saa malah ga cocok pake headphone, blm betah lama2 hehe punya Grado tp lebih sering nganggurnya hehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekomendasi Toko & Bengkel Sepeda di Jogja

Sejak 'mengenal' sepeda, beberapa kawan yang sangat mengerti anatomi, morfologi dan histologi sepeda, saya pun memberanikan diri memberi rekomendasi beberapa toko dan bengkel sepeda di Jogja yang harus disambangi dikala sepeda memerlukan perawatan dan penggantian suku cadang. Rekomendasi tempat-tempat ini berdasarkan pertimbangan: harga, kelengkapan ketersediaan suku cadang, hasil seting sepeda dan pengalaman empunya bengkel.  Juga pengalaman beberapa kawan saat membeli spare part ataupun memperbaiki sepedanya.  Rata-rata setiap toko atau tempat yang menyediakan sepeda dan suku cadangnya juga menyediakan tempat dan tenaga untuk seting dan reparasi, tapi tak semua hasilnya bagus.   Bengkel sepeda Rofi (Rahul Bike) ,  pemiliknya adalah teman saya di komunitas sepeda Federal , tapi menurut sejarah awalnya justru beliau akrab dengan sepeda-sepeda keluaran baru.  Hasil seting sepeda mas Rofi ini sudah sangat dapat dipertanggungjawabkan, hal ini bisa dilihat dari jej

..mencoba instal Lubuntu di Lenovo S206

..leptop honey, istri saya itu kondisinya sekarang lumayan amburadul, wifi susah konek, batterynya error - ya kalo ini sih salah saya gara-gara pernah nge-charge kelamaan-,  dan terakhir suka mati-mati sendiri sehabis diinstal ulang sama windows 7 (bajakan). Saya putuskan untuk instal linux saja, kali ini saya instalin Lubuntu, turunan ubuntu dengan pertimbangan spec leptop yang lumayan pas-pasan: RAM cuma 2 Gb dan prosesor yang cuma dual core 1,4 Gb.  Sebenarnya saya pengen nginstalin debian lagi, tapi selain lupa caranya, saya juga pengen nyoba OS yang lain, setelah saya timbang-timbang yang file ISO-nya lumayan kecil ya cuma Lubuntu, cuma sekitar 900-an Mb.  Itu juga lumayan lama downloadnya, cuma ngandelin hotspot dari hape. Setelah dapet iso-nya, bikin bootable di flashdisk pake unetbootin , lalu mencoba instal, berhubung saya termasuk user abal-abal yang taunya instal dan klik sana sini, jadi belum berani instal seluruhnya, takut data yang ada di hardisk keformat seperti

jejak bubin Lantang

jika ditanya salah satu kota yang ingin saya datengin sejak berpuluh tahun yang lalu, jawaban saya pastilah: Bandar Lampung.  Tentu karena nama-nama sudut kota itu lekat di otak saya, gara-gara karya bubin Lantang itulah. dan saya, akhirnya menjejakkan kaki juga di tanah impian itu.  Sengaja dari penginepan, naik gojeg ke Jl. Manggis.  Itu kalo di serial Anak-anak Mama Alin adalah lokasi rumahnya Wulansari- ceweknya 'Ra. Sedangkan di novel Bila, itu adalah jalan tempat kediamannya Puji- ceweknya Fay. di Bila, malah jelas dibilangin nomer rumahnya: empatbelas, ya persis nomer rumah saya dulu di kampung.  Melihat plang nama jalan Manggis saja saya senang tak terkira.   Apalagi habis itu menemukan rumah bernomor 14.  Dan saya baru tau kalo itu rumah pegawai perusahaan kereta api.  Rumah tua memang, persis seperti yang digambarin di buku. Belum cukup senang saya, saat berjalan ke arah barat, ternyata ujung jalan bermuara ke Pasir Gintung! Tempat legendaris yang digambarkan sebaga