banyak yang tidak tahu kenyataannya gimana, atau gimana kalau kita berada di posisi orang lain itu.
gini-- oke deh ini hedeh kembali ke masalah virus itu lagi-- banyak yang menyarankan orang-orang untuk di rumah saja, baik-- kita yang cukup uang, mungkin tak mengapa untuk jaga diri di rumah tidak kemana-mana, duit kita cukup untuk persediaan makanan dan lain lain. Pernah ga kepikiran, orang-orang yang di jalan itu, tak mungkin cuma untuk iseng atau bersenang-senang, sebagian mungkin demi mencari uang, untuk hidup. Tak semua beruntung seperti kita euy. Kalaupun menyarankan orang lain untuk tinggal, ada ngga kompensasi, atau jalan keluar, atau solusi gitu untuk mereka biar bisa hidup di rumah (itu juga kalau punya rumah) tapi mereka juga punya sesuatu untuk dimakan.
Itu satu, belum lagi, aku lihat yang banyak berkomentar, adalah orang kota, kebanyakan di kota, kebayang ngga di desa, atau di tempat yang tiada sinyal tau atau peduli dengan apa yang mereka ocehin? social distancing? Seperti di tulisan terdahulu, di desa atau di daerah yang jauh dari keramaian, jangankan orang-orang, rumah pun berjauhan.
Lalu, nah ini, tentang mudik, itu istilahmua, atau pulang kampung, tau ngga motivasi orang-orang pulang kampung untuk apa? Di kota yang mulai menyepi, cari duit dari mana dan di mana? Atau kebayang ngga orang-orang yang berjauhan dari keluarga, yang mengkhawatirkan keluarganya di tempat yang jauh. Bukannya itu makna dari mangan-ora-mangan-yang-penting-kumpul.
Makin sebel kalau yang berkomentar tak usah mudik itu, adalah orang-orang yang tenang di rumah bersama seluruh anggota keluarganya. Ya enak aja situ ngomong gitu. Coba elu kepisah-pisah sama anggota keluarga satu sama yang lainnya, bakal sama ndak komentarnya.
Berdoa saja semoga anggota keluarga yang pulang sehat walafiat. Setelah ketemu dan ngumpul lagi mah, mau di dalem rumah berapa lama pun pasti bakal dijabanin, kan khawatirnya sudah ilang karena yang dipikirin sudah deket.
Aku pikir, paling tidak usaha untuk mencegah, usaha preventif sama-sama dilakukan, sebelum berserah pada penentu takdir.
Mungkin yang aku tuliskan ini rada anti mainstream dan bikin sebal sebagian orang saat ini. Tapi mau bagaimana lagi, itu kenyataannya, negara ini beda dengan negara lain yang sama-sama lagi sibuk dengan sumber penyakit yang sama. Saya cuma bisa berdoa lagi semoga kian hari bisa diminimalisir, bisa sama-sama menjaga diri, dan ada aja sesuatu yang memusnahkannya.
Misalkan hari ini ada berita erupsi Merapi (lagi), siapa tau debu bawaannya itu malah memusnahkan sumber penyakit yang ada di Jogja dan sekitarnya. Intinya saya selalu yakin kalau ujian itu diberikan sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing manusia.
Walaupun, aku menghargai pikiran dan keyakinan masing-masing manusia, toh itu tak bisa dipaksakan kan. Kecuali himbauan, demi kebaikan bersama.
Haish, ngomong apa aku ini. Udahlah.
gini-- oke deh ini hedeh kembali ke masalah virus itu lagi-- banyak yang menyarankan orang-orang untuk di rumah saja, baik-- kita yang cukup uang, mungkin tak mengapa untuk jaga diri di rumah tidak kemana-mana, duit kita cukup untuk persediaan makanan dan lain lain. Pernah ga kepikiran, orang-orang yang di jalan itu, tak mungkin cuma untuk iseng atau bersenang-senang, sebagian mungkin demi mencari uang, untuk hidup. Tak semua beruntung seperti kita euy. Kalaupun menyarankan orang lain untuk tinggal, ada ngga kompensasi, atau jalan keluar, atau solusi gitu untuk mereka biar bisa hidup di rumah (itu juga kalau punya rumah) tapi mereka juga punya sesuatu untuk dimakan.
Itu satu, belum lagi, aku lihat yang banyak berkomentar, adalah orang kota, kebanyakan di kota, kebayang ngga di desa, atau di tempat yang tiada sinyal tau atau peduli dengan apa yang mereka ocehin? social distancing? Seperti di tulisan terdahulu, di desa atau di daerah yang jauh dari keramaian, jangankan orang-orang, rumah pun berjauhan.
Lalu, nah ini, tentang mudik, itu istilahmua, atau pulang kampung, tau ngga motivasi orang-orang pulang kampung untuk apa? Di kota yang mulai menyepi, cari duit dari mana dan di mana? Atau kebayang ngga orang-orang yang berjauhan dari keluarga, yang mengkhawatirkan keluarganya di tempat yang jauh. Bukannya itu makna dari mangan-ora-mangan-yang-penting-kumpul.
Makin sebel kalau yang berkomentar tak usah mudik itu, adalah orang-orang yang tenang di rumah bersama seluruh anggota keluarganya. Ya enak aja situ ngomong gitu. Coba elu kepisah-pisah sama anggota keluarga satu sama yang lainnya, bakal sama ndak komentarnya.
Berdoa saja semoga anggota keluarga yang pulang sehat walafiat. Setelah ketemu dan ngumpul lagi mah, mau di dalem rumah berapa lama pun pasti bakal dijabanin, kan khawatirnya sudah ilang karena yang dipikirin sudah deket.
Aku pikir, paling tidak usaha untuk mencegah, usaha preventif sama-sama dilakukan, sebelum berserah pada penentu takdir.
Mungkin yang aku tuliskan ini rada anti mainstream dan bikin sebal sebagian orang saat ini. Tapi mau bagaimana lagi, itu kenyataannya, negara ini beda dengan negara lain yang sama-sama lagi sibuk dengan sumber penyakit yang sama. Saya cuma bisa berdoa lagi semoga kian hari bisa diminimalisir, bisa sama-sama menjaga diri, dan ada aja sesuatu yang memusnahkannya.
Misalkan hari ini ada berita erupsi Merapi (lagi), siapa tau debu bawaannya itu malah memusnahkan sumber penyakit yang ada di Jogja dan sekitarnya. Intinya saya selalu yakin kalau ujian itu diberikan sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing manusia.
Walaupun, aku menghargai pikiran dan keyakinan masing-masing manusia, toh itu tak bisa dipaksakan kan. Kecuali himbauan, demi kebaikan bersama.
Haish, ngomong apa aku ini. Udahlah.
Komentar
Posting Komentar