..entahlah, aku pikir kampung yang aku datangi ini adalah sebuah cermin kesederhanaan dan ketidakbegitutertarikan dengan kemewahan dunia. Bayangkan saja, dalam jarak sekitar 80 km, sepanjang perjalanan mobil yang kutumpangi hanya berpapasan dengan kurang dari lima mobil lainnya, bayangkan itu. Motor juga rasanya tak sampai sepuluh yang aku temui di sepanjang jalan.
Rumah-rumah penduduk yang kadang berkelompok di satu titik, lalu di beberapa ruas jalan berikutnya, adalah sepi. kanan kiri jalan hanyalah tanah berpasir yang selangseling oleh tanaman lada, kadang sawit, ada karet dan tanaman liar, tak ada sejengkal pun sawah kulihat.
Jalanan yang halus itu sepi, nyaris sepi. Keheningan jalan yang aku nikmati.
Begitupun titik awal perjalanan, dari Tanjung Kelayang, yang pantainya berpasir halus, dan lautnya berwarna tosca, adalah kedamaian yang belum pernah aku temukan di sisi pantai manapun yang pernah aku datangi. Batu-batu besar yang berserakan di antara batas laut dan pantai. Damai sekali, kawan.
Dan akhir perjalanan itu bernama Gantong, nama tempat yang sebelumnya hanya pernah aku baca di novel tentang hidup seorang jenius bernama Andrea Hirata. Ada sekilas haru saat mengunjungi replika sekolahnya: SD Muhammadiyah Gantong, dan haru yang dalam lagi, sekaligus terkagum-kagum dengan bangunan sederhana namun penuh berwarna bernama Museum Kata.
Sepertinya suatu saat aku harus kembali lagi ke tempat ini, dimana keheningan adalah keindahan. Kesederhanaan adalah guru. Bahwa mengingatkanku akan tak ada yang perlu dibanggakan secara berlebih di dunia ini.
Perjalanan pulang hanyalah singgah di kedai kupi di Tanjung Pandan, beberapa tempat lainnya, sampai malam tiba di sini, di penginapan yang berhias bisikan ombak yang menenangkan.
Ya Tuhan. Aku jatuh cinta dengan Belitong ini.
Rumah-rumah penduduk yang kadang berkelompok di satu titik, lalu di beberapa ruas jalan berikutnya, adalah sepi. kanan kiri jalan hanyalah tanah berpasir yang selangseling oleh tanaman lada, kadang sawit, ada karet dan tanaman liar, tak ada sejengkal pun sawah kulihat.
Jalanan yang halus itu sepi, nyaris sepi. Keheningan jalan yang aku nikmati.
Begitupun titik awal perjalanan, dari Tanjung Kelayang, yang pantainya berpasir halus, dan lautnya berwarna tosca, adalah kedamaian yang belum pernah aku temukan di sisi pantai manapun yang pernah aku datangi. Batu-batu besar yang berserakan di antara batas laut dan pantai. Damai sekali, kawan.
Dan akhir perjalanan itu bernama Gantong, nama tempat yang sebelumnya hanya pernah aku baca di novel tentang hidup seorang jenius bernama Andrea Hirata. Ada sekilas haru saat mengunjungi replika sekolahnya: SD Muhammadiyah Gantong, dan haru yang dalam lagi, sekaligus terkagum-kagum dengan bangunan sederhana namun penuh berwarna bernama Museum Kata.
Sepertinya suatu saat aku harus kembali lagi ke tempat ini, dimana keheningan adalah keindahan. Kesederhanaan adalah guru. Bahwa mengingatkanku akan tak ada yang perlu dibanggakan secara berlebih di dunia ini.
Perjalanan pulang hanyalah singgah di kedai kupi di Tanjung Pandan, beberapa tempat lainnya, sampai malam tiba di sini, di penginapan yang berhias bisikan ombak yang menenangkan.
Ya Tuhan. Aku jatuh cinta dengan Belitong ini.
Komentar
Posting Komentar