kemarin, kawan lama dari Tulungagung berkunjung bersama kawan-kawannya, tiga hari. Saya berusaha nemenin kemana bisanya. Secara saya biasa bingung kalo nganter tamu, karena terbatasnya objek wisata yang bisa dikunjungi di selatan kalimantan ini.
Tapu hari terakhir kemarin seru, ngajak mereka ke maskot wisata di sini: pasar terapung di Lok Baintan, nah yang beda, saya iseng nanya kalo lanjut ke Banjarmasin berapa menit, eh katanya motoris cuma sekitar 40 menitan. Jadi aja setelah selesai liat-liat dan makan soto di atas sungai, perjalanan lanjut ke ibukota provinsi ini.
Kepikiran banyak selama di jalan: rumah-rumah yang terasnya ngadep sungai, jamban-jamban yang masih berjejer di sisi sungai yang sampai sekarang saya ga habis pikir kenapa harus dihapuskan hanya gara-gara etika berkedok kesehatan. Kehidupan dan aktifitas di sepanjang sisi sungai, kehidupan yang akrab sedari saya kecil.
Di jalan kepikiran, kenapa objek wisata di kampung saya ini sedikit, dan baru rada banyakan beberapa tahun terakhir. Saya pikir, duluu, wisata bukanlah hal yang primer bagi rakyat biasa kaya keluarga saya. Wisata ke pantai satu-satunya yang dikenal di provinsi ini pun bisa dihitung dengan jari, paling sekali dalam beberapa tahun. Lebih sering ziarah ke malam ulama besar, itu pun saat ada anggota keluarga yang ada nazar.
Keseharian adalah hidup yang berjalan seperti biasa, tak ada yang sering-sering dipamerkan lewat sosial media, bahkan berita dunia pun hanya tahu lewat satu-satunya saluran televisi, itu pun tak semua rumah punya perangkat canggih itu, dan tak semua juga berwarna.
Anak-anak seusia sekolah dasar, menghibur diri sepulang sekolah dengan mainan yang rata-rata dibuat sendiri, mainan plastik sangat jarang, selain seringkali tak mampu terbeli. Bermain dengan yang ada- sesuai musim. Saat musim hujan, ya mandi hujan saja nyaris tiap hari, sesekali ke sawah belakang rumah, nyari anak-anak ikan, nyari haliling (tutut atau siput sawah), berenang dan main apa saja di sungai yang biasanya airnya sangat jernih sampai dasar sungai kelihatan.
Saat kemarau adalah saatnya main layangan, saat-saat sawah yang sudah bering sehabis panen, pada beberapa bagian diratakan untuk dijadikan lapangan bola- ya bola adalah permainan musiman semesteran di kampung saya, karena waktu tahun 80-90'an pergantian dan lama musim masih stabil. Pagi kemarau pun masih diselimuti kabut dingin dan segar, bukan kabut asap yang tiba-tiba menjadi raja asing berpuluh tahun kemudian. Sesekali mencari jangkrik di balik rekahan tanah sawah yang kering. Di lain hari mencari mangga yang biasanya juga matang di waktu kemarau.
Begitu saja siklus hidup berputar.
Naik jukung/perahu kecil itu, bagi beberapa orang dulu adalah juga keseharian, bukanlah objek yang menarik untuk dialami tamu dari luar daerah. Adalah biasa mengayuh perahu sebagai transportasi, atau membeli sesuatu dari pedagang yang menawarkan barangnya via jukung yang melintasi ruas-ruang sungai.
Beberapa hal yang biasa bagi hidup saya di masa lampau, adalah luarbiasa bagi sebagian orang di masa sekarang.
Sebaliknya, beberapa bagian hidup yang merupakan hal mewah dan langka di masa saya kecil dulu, di masa sekarang adalah hal yang sudah teramat jamak.
Itulah, hidup.
Tapu hari terakhir kemarin seru, ngajak mereka ke maskot wisata di sini: pasar terapung di Lok Baintan, nah yang beda, saya iseng nanya kalo lanjut ke Banjarmasin berapa menit, eh katanya motoris cuma sekitar 40 menitan. Jadi aja setelah selesai liat-liat dan makan soto di atas sungai, perjalanan lanjut ke ibukota provinsi ini.
Kepikiran banyak selama di jalan: rumah-rumah yang terasnya ngadep sungai, jamban-jamban yang masih berjejer di sisi sungai yang sampai sekarang saya ga habis pikir kenapa harus dihapuskan hanya gara-gara etika berkedok kesehatan. Kehidupan dan aktifitas di sepanjang sisi sungai, kehidupan yang akrab sedari saya kecil.
Di jalan kepikiran, kenapa objek wisata di kampung saya ini sedikit, dan baru rada banyakan beberapa tahun terakhir. Saya pikir, duluu, wisata bukanlah hal yang primer bagi rakyat biasa kaya keluarga saya. Wisata ke pantai satu-satunya yang dikenal di provinsi ini pun bisa dihitung dengan jari, paling sekali dalam beberapa tahun. Lebih sering ziarah ke malam ulama besar, itu pun saat ada anggota keluarga yang ada nazar.
Keseharian adalah hidup yang berjalan seperti biasa, tak ada yang sering-sering dipamerkan lewat sosial media, bahkan berita dunia pun hanya tahu lewat satu-satunya saluran televisi, itu pun tak semua rumah punya perangkat canggih itu, dan tak semua juga berwarna.
Anak-anak seusia sekolah dasar, menghibur diri sepulang sekolah dengan mainan yang rata-rata dibuat sendiri, mainan plastik sangat jarang, selain seringkali tak mampu terbeli. Bermain dengan yang ada- sesuai musim. Saat musim hujan, ya mandi hujan saja nyaris tiap hari, sesekali ke sawah belakang rumah, nyari anak-anak ikan, nyari haliling (tutut atau siput sawah), berenang dan main apa saja di sungai yang biasanya airnya sangat jernih sampai dasar sungai kelihatan.
Saat kemarau adalah saatnya main layangan, saat-saat sawah yang sudah bering sehabis panen, pada beberapa bagian diratakan untuk dijadikan lapangan bola- ya bola adalah permainan musiman semesteran di kampung saya, karena waktu tahun 80-90'an pergantian dan lama musim masih stabil. Pagi kemarau pun masih diselimuti kabut dingin dan segar, bukan kabut asap yang tiba-tiba menjadi raja asing berpuluh tahun kemudian. Sesekali mencari jangkrik di balik rekahan tanah sawah yang kering. Di lain hari mencari mangga yang biasanya juga matang di waktu kemarau.
Begitu saja siklus hidup berputar.
Naik jukung/perahu kecil itu, bagi beberapa orang dulu adalah juga keseharian, bukanlah objek yang menarik untuk dialami tamu dari luar daerah. Adalah biasa mengayuh perahu sebagai transportasi, atau membeli sesuatu dari pedagang yang menawarkan barangnya via jukung yang melintasi ruas-ruang sungai.
Beberapa hal yang biasa bagi hidup saya di masa lampau, adalah luarbiasa bagi sebagian orang di masa sekarang.
Sebaliknya, beberapa bagian hidup yang merupakan hal mewah dan langka di masa saya kecil dulu, di masa sekarang adalah hal yang sudah teramat jamak.
Itulah, hidup.
Wah, Tulungagung juga hehehe
BalasHapus@galih
BalasHapushehe kampung temen saya itu mas