Langsung ke konten utama

Pengalaman dengan Layanan JKN via BPJS

Saya beberapa kali ingin menceritakan hal ini dari kemarin-kemarin, tapi tidak jadi-jadi juga.  Tapi dengan beberapa pertimbangan, akhirnya saya putuskan untuk membagi cerita terkait dengan BPJS Kesehatan dan JKN.

Sebenarnya niat terlaksananya jamkesnas melalui BPJS mulia adanya, yaitu menyediakan layanan kesehatan murah, bahkan gratis untuk semua kalangan masyarakat.  Saya sendiri karena seorang PNS, otomatis adalah penggunan layanan Askes, yang otomatis pula sekarang menjadi pengguna Jamkesnas, atau orang-orang biasa menyebutnya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

Tapi saya sendiri justru baru mengetahui tentang BPJS ini sendiri tatkala harus berurusan dengan rumah sakit karena istri yang dioperasi akhir Februari yang lalu.  Ironisnya, saya yang seharusnya sudah bisa menggunakan layanan BPJS terhitung saat pertama kali masuk rumah sakit, justru tidak bisa menggunakannya, disamping memang karena ketidaktahuan saya akan sistem yang baru diterapkan awal tahun 2014 ini, juga karena dokter dan perawat yang bertugas di IGD, ruang operasi sampai ruang ICU tak memberitahu apalagi menyarankan saya untuk menggunakan layanan BPJS yang sumber dananya dari potongan gaji saya beberapa persen setiap bulannya.

Pertama kali mau masuk ruang operasi, memang ada samar perawat yang menanyakan kepada saya : ”Pakai Askes/BPJS nggak pak? Semenatra pakai umum aja ya pak?”

‘Pakai umum’ artinya, saya dan istri terhitung sebagai pasien umum, yang juga harus menggunakan resep umum/non BPJS, artinya hak saya sebagai pengguna BPJS tidak diberitahukan sama sekali, saya yang dalam keadaan panik tentu saja hanya bisa mengiyakan tawaran petugas tanpa tahu sama sekali konsekuensi dari kata “iya’ yang baru saya ucapkan.

Benar saja, baru beberapa saat masuk ruang operasi, dokter anaestesi sudah memberikan resep yang harus ditebus di loket apotik umum, artinya tentu harus membayar, yang nominalnya lebih dari satu juta rupiah.  Tak berhenti sampai, disitu, tak lama datang lagi resep dari dokter kandungan yang menyarankan operasi isteri saya, dan beberapa lembar kertas resep lagi, hingga kalau dihitung-hitung dalam waktu tak sampai jam, ada sekitar 4 juta rupiah yang harus dikeluarkan untuk menebus resep.

Untungnya saat itu ada uang yang bisa dipakai sementara, saya hanya membayangkan kalau saja hal itu terjadi pada orang lain, dengan uang seadanya dan dalam keadaan panik seperti saya, apa yang akan terjadi saat mengetahui besarnya biaya untuk operasi, apalagi kemarin kejadiannya saat dinihari.

Sampai kemudian, pagi harinya, saya berkonsultasi dengan seorang teman yang kebetulan bertugas di rumah sakit (pemerintah) itu, yang kemudian memberitahu akan kegunaan layanan BPJS, kemudian menyarankan saya untuk cepat-cepat mengurusnya sebelum nanti  terjadi penambahan biaya perawatan lebih lanjut karena masih berstatus pasien umum.

Walau dari obrolan tentang BPJS sekilas saya menyimpulkan bahwa sistem BPJS ini menguntungkan bagi pasien namun terkesan merugikan bagi pihak rumah sakit dari segi pembiayaan, namun menurut saya hal itu dikembalikan lg kepada niat mulia untuk menolong orang yang sakit, yang kehidupannya benar-benar sakit.
Hikmah yang bisa diambil dari kejadian tersebut, saya bisa lebih mengetahui lagi hak pasien di rumah sakit, hak pengguna layanan BPJS yang mana masyarakat umum pun bisa menggunakannya dengan biaya yang relatif terjangkau, hanya membayar iuran dari RP. 25.500 per bulan untuk perawatan di kelas III tapi sudah include semua layanan yang diperlukan pasien, temasuk biaya operasi (tertentu) di dalamnya.

Singkat kalimat, semenjak saya mengurus layanan BPJS yang memang seharusnya sudah didapatkan isteri saya sejak masuk rumah sakit, tak ada lagi biaya tambahan yang dibebankan, semua obat pun sudah bisa ditebus di loket apotik khusus pengguna BPJS/Askes.

Mungkin ke depannya, sosialiasi Jamkesnas/BPJS ini harus lebih disebarluaskan lagi, terlepas dari ‘perang’ kepentingan antar pihak atas adanya layanan ini.  Paling tidak di era seperti ini, ada email yang disebarkan kepada semua pengguna BPJS yang sebelumnya adalah pengguna Askes/Jamsostek/Jampersal.  Atau paling tidak, para perawat atau petugas kesehatan yang bertugas berperan aktif menyarankan penggunaan layanan BPJS itu, bukannya malah terkesan melakukan pembiaran akan ketidaktahuan pasien/keluarga pasien seperti yang saya alami.

Demikianlah, semoga hal ini tak terulang lagi pada pasien lain yang benar-benar berhak dan memerlukan layanan Jamkesnas/BPJS tersebut, amin.

--
*pengalaman pengguna BPJS bisa juga disimak di sana dan disitu.

Komentar

  1. Saya Masyarakat umum yang sudah merasakan Manfaat BPJS pak ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekomendasi Toko & Bengkel Sepeda di Jogja

Sejak 'mengenal' sepeda, beberapa kawan yang sangat mengerti anatomi, morfologi dan histologi sepeda, saya pun memberanikan diri memberi rekomendasi beberapa toko dan bengkel sepeda di Jogja yang harus disambangi dikala sepeda memerlukan perawatan dan penggantian suku cadang. Rekomendasi tempat-tempat ini berdasarkan pertimbangan: harga, kelengkapan ketersediaan suku cadang, hasil seting sepeda dan pengalaman empunya bengkel.  Juga pengalaman beberapa kawan saat membeli spare part ataupun memperbaiki sepedanya.  Rata-rata setiap toko atau tempat yang menyediakan sepeda dan suku cadangnya juga menyediakan tempat dan tenaga untuk seting dan reparasi, tapi tak semua hasilnya bagus.   Bengkel sepeda Rofi (Rahul Bike) ,  pemiliknya adalah teman saya di komunitas sepeda Federal , tapi menurut sejarah awalnya justru beliau akrab dengan sepeda-sepeda keluaran baru.  Hasil seting sepeda mas Rofi ini sudah sangat dapat dipertanggungjawabkan, hal ini bisa dilihat dari jej

..mencoba instal Lubuntu di Lenovo S206

..leptop honey, istri saya itu kondisinya sekarang lumayan amburadul, wifi susah konek, batterynya error - ya kalo ini sih salah saya gara-gara pernah nge-charge kelamaan-,  dan terakhir suka mati-mati sendiri sehabis diinstal ulang sama windows 7 (bajakan). Saya putuskan untuk instal linux saja, kali ini saya instalin Lubuntu, turunan ubuntu dengan pertimbangan spec leptop yang lumayan pas-pasan: RAM cuma 2 Gb dan prosesor yang cuma dual core 1,4 Gb.  Sebenarnya saya pengen nginstalin debian lagi, tapi selain lupa caranya, saya juga pengen nyoba OS yang lain, setelah saya timbang-timbang yang file ISO-nya lumayan kecil ya cuma Lubuntu, cuma sekitar 900-an Mb.  Itu juga lumayan lama downloadnya, cuma ngandelin hotspot dari hape. Setelah dapet iso-nya, bikin bootable di flashdisk pake unetbootin , lalu mencoba instal, berhubung saya termasuk user abal-abal yang taunya instal dan klik sana sini, jadi belum berani instal seluruhnya, takut data yang ada di hardisk keformat seperti

jejak bubin Lantang

jika ditanya salah satu kota yang ingin saya datengin sejak berpuluh tahun yang lalu, jawaban saya pastilah: Bandar Lampung.  Tentu karena nama-nama sudut kota itu lekat di otak saya, gara-gara karya bubin Lantang itulah. dan saya, akhirnya menjejakkan kaki juga di tanah impian itu.  Sengaja dari penginepan, naik gojeg ke Jl. Manggis.  Itu kalo di serial Anak-anak Mama Alin adalah lokasi rumahnya Wulansari- ceweknya 'Ra. Sedangkan di novel Bila, itu adalah jalan tempat kediamannya Puji- ceweknya Fay. di Bila, malah jelas dibilangin nomer rumahnya: empatbelas, ya persis nomer rumah saya dulu di kampung.  Melihat plang nama jalan Manggis saja saya senang tak terkira.   Apalagi habis itu menemukan rumah bernomor 14.  Dan saya baru tau kalo itu rumah pegawai perusahaan kereta api.  Rumah tua memang, persis seperti yang digambarin di buku. Belum cukup senang saya, saat berjalan ke arah barat, ternyata ujung jalan bermuara ke Pasir Gintung! Tempat legendaris yang digambarkan sebaga