angin maret begitu kering, dedaunan kuning berbaur rontokan rerumputan di lantai bumi yang mewangi vetiver, dan Albizia saman tak peduli, tetap pongah dengan hijaunya tapi juga tak mau merunduk, mungkin malu dengan sepasang kaki yang bertautan di rindangnya yang menghalau panasnya siang yang sebentar lagi usai..
itu adalah sabtu di akhir minggu kedua, akhir masa libur, akhir masa bertemu, akhir masa kembali mengurai rindu, tak lepas juga pelukan dan sesekali lembut hangat di keningnya, berbaur matanya yang sembab hingga berpulas bening perlahan mengalir di pipinya yang merona jingga.
kontras dengan langit yang sepenuhnya biru.
bibir mereka lekat, tak bertautan, kala tak kentara, tangan kanan Zi perlahan mengeluarkan belati kecil dari slingbang yang sedari tadi tergeletak di sisi mereka, perlahan pula digoreskannya, ya hanya digoreskan saja pada punggung lelakinya yang lembab..
Zi melepaskan ciumannya, menatap mata lelakinya yang sayu, menciumnya sekali lagi, matanya sembab. lalu larik air mengalir dari sudut matanya..
kata seseorang, entah siapa, rindu adalah kemelekatan, cinta adalah belenggu, dan hidup mengajarkannya bahwa semua itu tak pernah bersahabat dengan relung jiwanya. kemelekatan adalah belenggu yang harus dimusnahkan, cepat atau lambat, atau tidak sama sekali. Zi memilih mempercepatnya.
Mungkin terdengar lucu, saat beberapa minggu yang lalu, pamannya memperlihatkan belati mungil, berukiran unik, katanya itu pusaka keluarganya, sederhana tapi berbahaya, tak pernah alpa dilumuri dupa dan bermacam bisa, terakhir dilapis bisa kobra yang entah darimana pamannya mendapatkannya.
Sehari sebelum janji, diam-diam diselipkannya dalam saku, saat paman tertidur di siang yang berangin. dan baru saja, dikembalikannya lagi, setelah diam-diam beberapa menit sebelumnya Zi tak bisa menahan keinginan benakanya, untuk menggoreskan belati sekali lagi, ke punggung tangannya..
merebahkan tubuh indahnya di kamarnya yang sedikit sempit, tapi udaranya terasa luas bagi Zi, yang sudah tersenyum lega, perlahan sampai akhirnya matanya menutup seiring napas terakhirnya terhembus, berbaur dengan angin maret yang masih terasa kering..
itu adalah sabtu di akhir minggu kedua, akhir masa libur, akhir masa bertemu, akhir masa kembali mengurai rindu, tak lepas juga pelukan dan sesekali lembut hangat di keningnya, berbaur matanya yang sembab hingga berpulas bening perlahan mengalir di pipinya yang merona jingga.
kontras dengan langit yang sepenuhnya biru.
bibir mereka lekat, tak bertautan, kala tak kentara, tangan kanan Zi perlahan mengeluarkan belati kecil dari slingbang yang sedari tadi tergeletak di sisi mereka, perlahan pula digoreskannya, ya hanya digoreskan saja pada punggung lelakinya yang lembab..
Zi melepaskan ciumannya, menatap mata lelakinya yang sayu, menciumnya sekali lagi, matanya sembab. lalu larik air mengalir dari sudut matanya..
kata seseorang, entah siapa, rindu adalah kemelekatan, cinta adalah belenggu, dan hidup mengajarkannya bahwa semua itu tak pernah bersahabat dengan relung jiwanya. kemelekatan adalah belenggu yang harus dimusnahkan, cepat atau lambat, atau tidak sama sekali. Zi memilih mempercepatnya.
Mungkin terdengar lucu, saat beberapa minggu yang lalu, pamannya memperlihatkan belati mungil, berukiran unik, katanya itu pusaka keluarganya, sederhana tapi berbahaya, tak pernah alpa dilumuri dupa dan bermacam bisa, terakhir dilapis bisa kobra yang entah darimana pamannya mendapatkannya.
Sehari sebelum janji, diam-diam diselipkannya dalam saku, saat paman tertidur di siang yang berangin. dan baru saja, dikembalikannya lagi, setelah diam-diam beberapa menit sebelumnya Zi tak bisa menahan keinginan benakanya, untuk menggoreskan belati sekali lagi, ke punggung tangannya..
merebahkan tubuh indahnya di kamarnya yang sedikit sempit, tapi udaranya terasa luas bagi Zi, yang sudah tersenyum lega, perlahan sampai akhirnya matanya menutup seiring napas terakhirnya terhembus, berbaur dengan angin maret yang masih terasa kering..
Komentar
Posting Komentar