Langsung ke konten utama

tentang H-2 Moana, Angkringan dan Rindu

my island is dying
- moana

di postingan saya sebelumnya, saya sudah bilang kalo saya seringkali mikir sendiri, atau istilah kekiniannya: baper, jika nonton film yang berlatar hutan dan semacamnya, eh ternyata saya menemukan hal itu lagi di film Moana.

Mari saya ceritakan hal-hal random setelah nonton film apik itu:

Saya membayangkannya terlalu jauh, kepikiran bumi yang sekarat dan marah karena kenyamanannya terusik, lalu marah, lalu bikin semuanya suram dan sekarat, sampai muncul pahlawan yang ditunggu: Moana dan Maui.

Kenapa harus dua orang? karena manusia tak bisa berjalan dan hidup sendiri, harus punya seseorang yang bisa mengingatkan dan membuat semangat untuk mencapai tujuan.  Saat seseorang yang diharapkan bisa memberi semangat itu pergi, dengan alasannya sendiri, akhirnya cuma bisa bengong di kapal yang dia di tempat.  Itu yang dirasa Moana saat ditinggalkan Maui yang merasa tak bisa membantu lagi saat senjatanya rusak dan tidak sakti lagi.

Untungnya ada neneknya yang kembali mengingatkan akan tujuannya semula, yang percaya akan tujuan kemampuannya.  Ayah Moana yang melarangnya pergi jauh juga ga salah juga sih, alasannya karena ingin dirinya aman, selain trauma masa lalunya juga.

Te Kā is actually Te Fiti without her heart, kata wikipedia. Jadi seseorang yang sebaik hati apapun, kalau sudah merasa hatinya hilang, bakal bisa ngamuk-ngamuk ga karuan.  Keren sekali kan kesimpulan saya?  Proses ngebalikin haii Te Fiti yang hilang itu yang menarik, harus mengarungi lautan, belajar mengendalikan perahu, belajar membaca arah lewat bintang.  Ah bagian membaca bintang ini malah mengingatkan saya pada Ikal yang belajar tentang navigasi dengan Weh di buku Edensor-nya Andrea Hirata.

Bagian yang tak saya mengerti tapi bikin saya terhibur adalah kehadiran ayam jantan yang aduh itu anehnya bukan kepalang, hobinya makan batu, dan mematuk-matuk tak tentu arah.  Tapi toh nyatanya ayam ajaib itu pula yang menyelamatkan hati Te Fiti saat nyaris jatuh ke laut.

Film ini lagi-lagi mengajarkan untuk mengenali diri sendiri, itu kalau tidak salah saat neneknya Moana menunjukan lagi tujuannya semula, mengingatkan kembali jatidirinya, pokoknya begitu deh.

Oiya, kalo tidak salah saat nonton film ini, di menit 50-an gitu, tetangga saya ngajak sepedaan ke angkringan yang non mainstream, menurut saya.  Karena waktu bukanya justru saat pagi sampai siang, lha biasanya kan angkringan kui bukanya sore sampai malam.  Tadi cuma makan nasi kucing, plus semacam potongan bakwan, lalu tahu bacem, sate telor puyuh dan kue singkong yang manis, tambah minum coklat hangat, lho kok banyak.  Itu juga makan berdua teman dengan menu yang kurang lebih sama, berdua cuma habis Rp. 15.000,-.

Soal makanan ini, saya tiba teringat akan kejadian tadi malam, yang tiba-tiba lapar karena memang belum makan.  Saya malah kebayang makanan yang biasa saya makan kalau singgah di kota hujan itu.  Saya rindu makanan itu, rindu suasana makan yang nyaman di lantai dua rumah sepupu. Entah kapan saya kesitu lagi, menginap semalam dua malam, menikmati hujan yang sering datang lalu menyempatkan waktu berkeliling kebun raya, tempat yang tak pernah bosan-bosan saya kelilingi walau bikin pegel saking luasnya.

Kemudian, saat ini, tiba-tiba playlist di SMPlayer saya memutarkan lagu Anyer 10 Maret-nya Slank.  Lagu yang dulu sering saya puter saat rindu di kamar kos yang sempit seharga dua puluh ribu tanpa plafon tanpa jendela, belasan tahun yang lalu, saat jauh dari orang yang saya sayangi, tanpa henti, tanpa lelah.

Begitu saja, sementara di luar sekarang hari menjelang mendung lagi, dan saya masih belum bikin powerpoint untuk hari senin #lho

Sudahlah, kacau sekali postingan ini.

Komentar

  1. Kacau om.... Segala weh masuk disini... Tapi bagian moana nya sukses bikin saya kepo, besok minta mas miswa ah donlotin *coret* cariin film moana... Proses pengembalian te fiti nya keren, kiasan semua itu... 👍👍👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu soalnya pas saya baca ulang buku Andrea soalnya, & terimakasih atas jempolnya *serasa di fesbuk 😶

      Hapus
  2. Saya baru sekali ke kebun raya dan iya, bikin pegel kaki. Walaupun udah pegel, kayaknya masih banyak aja tempat yg belum terjelajahi.


    Itu menu berdua 15.000? Kok enak :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah Jogja mb, masih banyak menu yg harganya di bawah 10 rb, wong soto di kantin kampus saya aja harganya msh 5rb kok 😂

      Hapus
    2. rasa-rasanya kayak bukan di indonesia deh om, makannya begitu... coba kita2 disini ya mbak anggi... 50ribu itu kayak sekejap mata... hixhixhix.

      Hapus
    3. Edun pisan, Lampung lebih kejam daripada ibukota tampaknya -_-"

      Hapus
    4. Betul-betul. Apalagi saya yang kerjanya di Kabupaten. Ketemu alfa dikit mampir beli ini itu buat di jalan. Ketemu tukang combro yang terkenal enak itu, mampir lagi, beli sarapan, beli makan siang. Hahaha...

      Hapus
    5. @mba anggi
      ngeri sekali, padahal deket ibukota lho ya *entahlah apa hubungannya* XD

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekomendasi Toko & Bengkel Sepeda di Jogja

Sejak 'mengenal' sepeda, beberapa kawan yang sangat mengerti anatomi, morfologi dan histologi sepeda, saya pun memberanikan diri memberi rekomendasi beberapa toko dan bengkel sepeda di Jogja yang harus disambangi dikala sepeda memerlukan perawatan dan penggantian suku cadang. Rekomendasi tempat-tempat ini berdasarkan pertimbangan: harga, kelengkapan ketersediaan suku cadang, hasil seting sepeda dan pengalaman empunya bengkel.  Juga pengalaman beberapa kawan saat membeli spare part ataupun memperbaiki sepedanya.  Rata-rata setiap toko atau tempat yang menyediakan sepeda dan suku cadangnya juga menyediakan tempat dan tenaga untuk seting dan reparasi, tapi tak semua hasilnya bagus.   Bengkel sepeda Rofi (Rahul Bike) ,  pemiliknya adalah teman saya di komunitas sepeda Federal , tapi menurut sejarah awalnya justru beliau akrab dengan sepeda-sepeda keluaran baru.  Hasil seting sepeda mas Rofi ini sudah sangat dapat dipertanggungjawabkan, hal ini bisa dilihat dari jej

..mencoba instal Lubuntu di Lenovo S206

..leptop honey, istri saya itu kondisinya sekarang lumayan amburadul, wifi susah konek, batterynya error - ya kalo ini sih salah saya gara-gara pernah nge-charge kelamaan-,  dan terakhir suka mati-mati sendiri sehabis diinstal ulang sama windows 7 (bajakan). Saya putuskan untuk instal linux saja, kali ini saya instalin Lubuntu, turunan ubuntu dengan pertimbangan spec leptop yang lumayan pas-pasan: RAM cuma 2 Gb dan prosesor yang cuma dual core 1,4 Gb.  Sebenarnya saya pengen nginstalin debian lagi, tapi selain lupa caranya, saya juga pengen nyoba OS yang lain, setelah saya timbang-timbang yang file ISO-nya lumayan kecil ya cuma Lubuntu, cuma sekitar 900-an Mb.  Itu juga lumayan lama downloadnya, cuma ngandelin hotspot dari hape. Setelah dapet iso-nya, bikin bootable di flashdisk pake unetbootin , lalu mencoba instal, berhubung saya termasuk user abal-abal yang taunya instal dan klik sana sini, jadi belum berani instal seluruhnya, takut data yang ada di hardisk keformat seperti

jejak bubin Lantang

jika ditanya salah satu kota yang ingin saya datengin sejak berpuluh tahun yang lalu, jawaban saya pastilah: Bandar Lampung.  Tentu karena nama-nama sudut kota itu lekat di otak saya, gara-gara karya bubin Lantang itulah. dan saya, akhirnya menjejakkan kaki juga di tanah impian itu.  Sengaja dari penginepan, naik gojeg ke Jl. Manggis.  Itu kalo di serial Anak-anak Mama Alin adalah lokasi rumahnya Wulansari- ceweknya 'Ra. Sedangkan di novel Bila, itu adalah jalan tempat kediamannya Puji- ceweknya Fay. di Bila, malah jelas dibilangin nomer rumahnya: empatbelas, ya persis nomer rumah saya dulu di kampung.  Melihat plang nama jalan Manggis saja saya senang tak terkira.   Apalagi habis itu menemukan rumah bernomor 14.  Dan saya baru tau kalo itu rumah pegawai perusahaan kereta api.  Rumah tua memang, persis seperti yang digambarin di buku. Belum cukup senang saya, saat berjalan ke arah barat, ternyata ujung jalan bermuara ke Pasir Gintung! Tempat legendaris yang digambarkan sebaga