Langsung ke konten utama

tentang fiksi yang ngambang

dulu, beberapa tahun yang lalu, saya pernah membuat cerita fiksi, yang entahlah bagaimana prosesnya, mengalir aja gitu tanpa ada kerangka cerita yang jelas, akhirnya endingnya ngambang, beberapa malah ada yang belum nyampe ending sudah ga jelas lagi juntrungannya.  Salah satunya adalah cerita di bawah ini, yang judulnya pun saya lupa, atau malah memang belum dikasih judul, entahlah 😁

...

/bagian pertama

Pengumuman pada para penumpang untuk segera menaiki pesawat terdengar lagi, Jo malah sibuk memasang earphone, hanya satu lagu di playlistnya yang diputar berulang-ulang sejak dua jam yang lalu, saat kakinya berat menuju area departure.

Wajahnya datar menatap deretan orang-orang yang seperti tak sabar keluar dari ruang tunggu 1E. Hingga tersisa tiga empat orang yang tersisa di antrian, baru dengan malas-malasan menaikkan ransel prensnya ke pundak, dengan langkah yang tak ringan terseret. Menunjukkan boarding passnya pada petugas yang tersenyum sekilas.

Baru beberapa saat berjalan, langkah terhenti, menoleh ke belakang, kembali berharap wajah yang diharapkannya ada disitu untuk kemudian menahannya pergi. Lima detik kemudian nafasnya terhembus berat, menapak lagi. Pesawat di hadapannya sudah bersiap membawanya pergi, bersama semua mimpi indahnya, Jo membetulkan earphonenya lagi. Leaving on the jet plane kembali mengisi udara. Tiba-tiba dia merasa sendirian terhenyak di 14E.

Sepuluh menit saja setelah duduk perlahan terdengar suara ‘take off position’. Seatbelt terpasang erat, pesawatnya yang membawanya pun perlahan membumbung. Menengok keluar jendela, menatap ke bawah, berusaha mengira-ngira titik keberadaan seseorang yang harus ditinggalkannya.Tapi cepat semua terlihat mengecil, menjauh, sampai pandangannya hanya menatap gumpalan-gumpalan awan di langit tanpa batas. Memejamkan mata sejenak lalu membukanya perlahan, hawa pendingin udara tiba-tiba menyergapnya, reflek kedua tangannya merapatkan sweaternya. Menatap sekilas dan memberikan senyum tipis pada seorang lelaki yang duduk tepat di sampingnya, kembali lalu berusaha memejamkan matanya, berusaha melupakan jejak-jejak ingatan yang tersisa.

/ bagian kedua

Elang masih duduk diatas Thunder merahnya. Matanya masih menatap ke arah satu titik bersayap yang menjauh ke langit utara, untuk kemudian lenyap dan menghilang, hanya luas biru yang tertapis matanya, perlahan terasa ada sebuah rasa yang bernama: hilang, mungkin sinis menertawakan hatinya sendiri. Dan perlu empat belas menit untuk menyentak alam pikirannya kembali ke dunia sadar. Untuk kembali meyakinkan bahwa tak ada perlu sesal. Bahwa berusaha saling melupakan adalah yang terbaik. Walau dia tau, hatinya sendiri yang akan mengkhianati janjinya.

/ bagian ketiga

Jo masih merasa berada di ambang kesadarannya, saat merasa sekelilingnya bergetar hebat. Sayup telinganya mendengar pengumuman untuk tetap tenang, mendengar bahwa keadaan cuaca dalam keadaan tidak baik. Matanya berusaha dipejamkan lagi, tapi guncangan tak juga berhenti, malah terasa semakin hebat. Lampu tanda sabuk pengaman harus terpasang masih berpendar diatas tempat duduknya. Seorang pramugari melintas di koridor, walau terlihat tenang, paras cantiknya tertangkap mata Jo menyiratkan cemas yang tak kentara.

/ bagian keempat

Motor merah itu seakan marah pada jalanan, melumatnya tanpa jeda. Pikirannya tak mau diam, tak bisa dihentikan. Pun saat ada thunder lain yang tiba-tiba menyalipnya. Reflek memasukkan kopling, memasuki persneling tertinggi. Mengejarnya entah untuk apa. Speedometer perlahan mendekati angka seratus. Thunder hitam di depannya tinggal beberapa meter lagi. Zigzag melewati dua truk yang terasa lambat. Elang melupakan kecamuk otaknya, yang muncul hanya mendahului penyalipnya. Hingga tiba di belakang Pajero hitam yang terlihat melambat, tapi tidak dengan dua thunder yang seperti tertunggangi setan, terus melaju. Pajero terlampaui cepat, tapi dari arah depan sebuah tronton yang juga melaju tak memberikan jalan, Sedetik kemudian lalu Elang merasakan nafasnya terhenti.

/bagian kelima

Delapan hari sebelumnya. Dua sosok itu berjalan bersisian, tangan kanan yang satu erat menggenggam tangan kiri disampingnya, menyusuri jalan sambil tertawa-tawa.

Kepikiran ga sih kita selamanya kaya gini?” Jo menoleh pada El. Tawa pun seketika hilang.
Aku merasa ngga akan...” sebuah jawaban singkat. Sekarang senyum pun musnah.
Apa tadi katamu?” Jo mencondongkan wajah ke lelakinya.
Kita ga akan pernah bisa jadi satu dalam hidup”
Jo terperangah.

Ngomong apa sih kamu El?” paras manisnya lenyap, hanya ada tatap tajam. Elang diam, balas menatap lekat sepasang mata lebar di sampingnya. Menarik nafas. Lalu tiba-tiba tertawa keras-keras.
Kamu ga asik kalo kaget gitu”
Jo merengut.

/ bagian keenam

Gubeng baru ditinggalkan dua puluh menit, lelaki muda itu dengan jins lusuh dan kaus hitamnya itu sudah gelisah. Menatap mozaik disepanjang pinggir rel dengan pandangan bosan. Kursi paling ujung. 1A, samping jendela, ditinggalkannya. Malah menuju lorong di ujung gerbong tujuh. Sore baru dimulai, tapi entah kenapa lorong itu terlihat sepi, hanya ada seorang gadis yang berdiri tepat di depan pintu toilet, sebuah daypack hijau menempel erat di punggungnya. ‘eh, seorang gadis, berdiri?’

/ bagian ketujuh

Lembab didominasi dipterocarpaceae dan shorea yang menaungi lantai hutan yang hening, tersibak oleh sepasang kaki yang tampak sendirian berjalan dalam diam. Sesekali sandal gunungnya membasah saat tak peduli menjejak genangan air di jalan setapak, pagi tadi hujan sudah menghias alam memang. 

Kedua tangannya memegang handle carrier 60 liter yang erat terbalut protector. Tubuh yang terbungkus flanel kotak biru hitam berlapis raincoat jaket terus berjalan saja. Matahari belum tepat di atas kepala, masih satu jam menuju tengahnya hari. Tersirat sekilah senyum di wajahnya, membayangkan sosok yang mungkin sedang sibuk mempersiapkan makan siang di pertigaan sungai lembah yang lama diakrabinya. Gemuruh sungai yang seperti buas memuai malah membuat matanya makin berbinar.

tunggu aku”, bisiknya.
..

 ..
..

Gitu aja, saya lupa rencana endingnya bakal gimana, mungkin suatu saat akan saya bikin kelanjutannya, mungkin, tapi entahlah.  Yang jelas membaca cerita bikinan saya di atasa, saya kagum sama diri sendiri jadinya, pernah bikin scene kayak gitu ckckck *mengagumi diri sendiri

kemudian hening..

Komentar

  1. Lanjutin dong om... Masak prolog doang... Kan Kemal kita.. (kepo maksimal,red)

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini kan semacam trailer, kalo responnya menarik mungkin kita lanjutkan gitu
      ((kita))

      Hapus
    2. Ah... Nanti kapok.... 😂😂😂😂

      Hapus
    3. tidak lah, sesekali imajinasi harus dibakar biar nganu

      Hapus
  2. Balasan
    1. Wah sampe ada mas Billy euy, iya rencananya sih mau ditambahin juga, pengen jg bisa rutin bikin kyk dirimu gitu, doain aja mas hehe

      Hapus
    2. SEMANGAAAATTT!!!

      saya juga ini lagi usaha bikin rutin lagi setelah 2016 lalu acak2an itu cerpennya. hahahah..

      Hapus
    3. Siyaaap. Trus jadiin novel trua diterbitin gitu ya .. *ga nanggung2 ngayalnya

      Hapus
  3. *nungguin postingan fiksi berikutnya*

    Bagus kok, Mas. Lanjutin dong...

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah komennya bikin saya semangat euy,
      siyap, ntar kalo ada ide lagi, saya terusin deh

      terimakasih ya

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekomendasi Toko & Bengkel Sepeda di Jogja

Sejak 'mengenal' sepeda, beberapa kawan yang sangat mengerti anatomi, morfologi dan histologi sepeda, saya pun memberanikan diri memberi rekomendasi beberapa toko dan bengkel sepeda di Jogja yang harus disambangi dikala sepeda memerlukan perawatan dan penggantian suku cadang. Rekomendasi tempat-tempat ini berdasarkan pertimbangan: harga, kelengkapan ketersediaan suku cadang, hasil seting sepeda dan pengalaman empunya bengkel.  Juga pengalaman beberapa kawan saat membeli spare part ataupun memperbaiki sepedanya.  Rata-rata setiap toko atau tempat yang menyediakan sepeda dan suku cadangnya juga menyediakan tempat dan tenaga untuk seting dan reparasi, tapi tak semua hasilnya bagus.   Bengkel sepeda Rofi (Rahul Bike) ,  pemiliknya adalah teman saya di komunitas sepeda Federal , tapi menurut sejarah awalnya justru beliau akrab dengan sepeda-sepeda keluaran baru.  Hasil seting sepeda mas Rofi ini sudah sangat dapat dipertanggungjawabkan, hal ini bisa dilihat dari jej

..mencoba instal Lubuntu di Lenovo S206

..leptop honey, istri saya itu kondisinya sekarang lumayan amburadul, wifi susah konek, batterynya error - ya kalo ini sih salah saya gara-gara pernah nge-charge kelamaan-,  dan terakhir suka mati-mati sendiri sehabis diinstal ulang sama windows 7 (bajakan). Saya putuskan untuk instal linux saja, kali ini saya instalin Lubuntu, turunan ubuntu dengan pertimbangan spec leptop yang lumayan pas-pasan: RAM cuma 2 Gb dan prosesor yang cuma dual core 1,4 Gb.  Sebenarnya saya pengen nginstalin debian lagi, tapi selain lupa caranya, saya juga pengen nyoba OS yang lain, setelah saya timbang-timbang yang file ISO-nya lumayan kecil ya cuma Lubuntu, cuma sekitar 900-an Mb.  Itu juga lumayan lama downloadnya, cuma ngandelin hotspot dari hape. Setelah dapet iso-nya, bikin bootable di flashdisk pake unetbootin , lalu mencoba instal, berhubung saya termasuk user abal-abal yang taunya instal dan klik sana sini, jadi belum berani instal seluruhnya, takut data yang ada di hardisk keformat seperti

jejak bubin Lantang

jika ditanya salah satu kota yang ingin saya datengin sejak berpuluh tahun yang lalu, jawaban saya pastilah: Bandar Lampung.  Tentu karena nama-nama sudut kota itu lekat di otak saya, gara-gara karya bubin Lantang itulah. dan saya, akhirnya menjejakkan kaki juga di tanah impian itu.  Sengaja dari penginepan, naik gojeg ke Jl. Manggis.  Itu kalo di serial Anak-anak Mama Alin adalah lokasi rumahnya Wulansari- ceweknya 'Ra. Sedangkan di novel Bila, itu adalah jalan tempat kediamannya Puji- ceweknya Fay. di Bila, malah jelas dibilangin nomer rumahnya: empatbelas, ya persis nomer rumah saya dulu di kampung.  Melihat plang nama jalan Manggis saja saya senang tak terkira.   Apalagi habis itu menemukan rumah bernomor 14.  Dan saya baru tau kalo itu rumah pegawai perusahaan kereta api.  Rumah tua memang, persis seperti yang digambarin di buku. Belum cukup senang saya, saat berjalan ke arah barat, ternyata ujung jalan bermuara ke Pasir Gintung! Tempat legendaris yang digambarkan sebaga