masih sedikit menyambung tulisan terakhir itu, biar imbang, maka saya menulis tentang kebalikan pemecatan, yaitu pengangkatan, dalam term PNS tentu saja.
Awalnya, mungkin, walaupun, sekali lagi mungkin ada data yang kurang valid, pengadaan pegawai yang melalui kajian analisis jabatan, yang kemudian dituangkan dalam permintaan formasi PNS yang diperlukan di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu, untuk disampaikan ke pemerintah pusat via Kemenpan, masih bisa berjalan sesuai keadaan yang mendekati fakta riil.
Sampai kemudia, gara-gara janji politik, pada tahun 2005, Presiden pada saat itu, mengeluarkan peraturan pemerintah yang tidak banyak diketahui orang kalau isinya sebenarnya kontroversial. peraturan yang merupakan semacam jalan tol menuju status PNS melalui jalur honorer.
Kenapa kontroversial?
Ada beberapa poin terkait pengangkatan PNS yang terang benderang dikhianati oleh PP 48/2005 itu: yang paling jelas adalah tentang penyusunan formasi, hal ini otomatis dilangkahi karena tenaga honor langsung diangkat tanpa melalui kajian itu.
Kemudian, sedikit tentang batas usia, walaupun asas lex superior derogat legi inferiori bisa dijadikan tameng melawan aturan kepala BKN Nomor 11 tahun 2002 yang masih dijadikan dasar. Juga kalimat sakti lex specialis derogat legi generali yang bisa dijadikan alasan untuk menghadapi amanah dalam Peraturan pemerintah nomor 98 tahun 2000. Hedeh, rumit soal aturan teh.
Terbayang kan, paling tidak dalam kurun waktu lima tahun, pengangkatan pegawai secara masif tanpa mengindahkan norma-norma yang disepakati sejak tahun 1974. Walaupun saya yakin banyak juga mereka yang diangkat memang hanya karena semacam kesuksesan yang tertunda, akibat beberapa kali tidak lulus seleksi. Seimbang dengan pemikiran saya di sisi lainnya, bagaimana dengan yang lain-lainnya?
Sisa masalah sekarang ya pemerintah tentu berusaha mengelak dari tuntutan tenaga honorer yang tersisa, akibat buntut dari pelencengan aturan dulu itu, sambil diam-diam berusaha kembali ke jalur yang benar.
Caranya?
Yaitulah, salah satunya via kalimat bertuah berjudul rasionalisasi pegawai. Rasionalisasi akibat dari buah irasionalisasi.
Tapi tentu, kejadian tahun 2005 itu tentu bukan pula salah satu faktor penyebab keirasionalan *kata macam apa pula ini* manajemen pegawai di negeri ini, faktor lain-lain semacam pegawai yang mentok mbulet muter-muter ndak jelas saat ditugaskan padahal cuma untuk belajar juga merupakan salah satu hal yang patut dipertanyakan.
Mungkin, selanjutnya mari kita bahas tentang komitmen dan perilaku pegawai di negeri ini, biar malu tuh yang disuruh belajar aja gitu ndak jelas blas, gimana kalo kerja keras, hih..
Awalnya, mungkin, walaupun, sekali lagi mungkin ada data yang kurang valid, pengadaan pegawai yang melalui kajian analisis jabatan, yang kemudian dituangkan dalam permintaan formasi PNS yang diperlukan di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu, untuk disampaikan ke pemerintah pusat via Kemenpan, masih bisa berjalan sesuai keadaan yang mendekati fakta riil.
Sampai kemudia, gara-gara janji politik, pada tahun 2005, Presiden pada saat itu, mengeluarkan peraturan pemerintah yang tidak banyak diketahui orang kalau isinya sebenarnya kontroversial. peraturan yang merupakan semacam jalan tol menuju status PNS melalui jalur honorer.
Kenapa kontroversial?
Ada beberapa poin terkait pengangkatan PNS yang terang benderang dikhianati oleh PP 48/2005 itu: yang paling jelas adalah tentang penyusunan formasi, hal ini otomatis dilangkahi karena tenaga honor langsung diangkat tanpa melalui kajian itu.
Kemudian, sedikit tentang batas usia, walaupun asas lex superior derogat legi inferiori bisa dijadikan tameng melawan aturan kepala BKN Nomor 11 tahun 2002 yang masih dijadikan dasar. Juga kalimat sakti lex specialis derogat legi generali yang bisa dijadikan alasan untuk menghadapi amanah dalam Peraturan pemerintah nomor 98 tahun 2000. Hedeh, rumit soal aturan teh.
Terbayang kan, paling tidak dalam kurun waktu lima tahun, pengangkatan pegawai secara masif tanpa mengindahkan norma-norma yang disepakati sejak tahun 1974. Walaupun saya yakin banyak juga mereka yang diangkat memang hanya karena semacam kesuksesan yang tertunda, akibat beberapa kali tidak lulus seleksi. Seimbang dengan pemikiran saya di sisi lainnya, bagaimana dengan yang lain-lainnya?
Sisa masalah sekarang ya pemerintah tentu berusaha mengelak dari tuntutan tenaga honorer yang tersisa, akibat buntut dari pelencengan aturan dulu itu, sambil diam-diam berusaha kembali ke jalur yang benar.
Caranya?
Yaitulah, salah satunya via kalimat bertuah berjudul rasionalisasi pegawai. Rasionalisasi akibat dari buah irasionalisasi.
Tapi tentu, kejadian tahun 2005 itu tentu bukan pula salah satu faktor penyebab keirasionalan *kata macam apa pula ini* manajemen pegawai di negeri ini, faktor lain-lain semacam pegawai yang mentok mbulet muter-muter ndak jelas saat ditugaskan padahal cuma untuk belajar juga merupakan salah satu hal yang patut dipertanyakan.
Mungkin, selanjutnya mari kita bahas tentang komitmen dan perilaku pegawai di negeri ini, biar malu tuh yang disuruh belajar aja gitu ndak jelas blas, gimana kalo kerja keras, hih..
Komentar
Posting Komentar