Langsung ke konten utama

Postingan

Berlari 30 Tahun Yang Lalu

Tahun 1995. Acaranya adalat latdas (latihan dasar) bagi calon anggota baru Mapala Sylva. Lima hari yang melelahkan fisik & mental.  Selain diajarin teori & praktek tentang orad, caving, survival, peta kompas, panjat tebing, SAR & gunung hutan, juga disuguhi tidak pentingnya kelakuan senioritas. Entah berapa kali lari, push up, jalan kaki, nyebur ke air tak kenal waktu, hingga akhirnya ditutup dengan lari dari Mandiangin ke kampus yang jaraknya sekitar 17 km. Masalahnya, diantara segala teori yang diterima waktu itu- tak ada diajarin cara bernapas dengan baik, bagaimana efisiensi tenaga saat bergerak dan mencegah cidera. Waktu itu, berlari adalah musuh bagiku. Tiap lari, selalu pinggang terasa ditusuk-tusuk di kedua arah. Apalagi lari sepulang latdas saat itu rasanya tak mengenal bagaimana cara berlari jarak jauh dengan baik. Rasanya dari total 17 km itu palingan sekitar 1-2 km saya mampu berlari, sisanya jalan kaki. Hingga di antara 13 orang calon anggota mapala angkata...
Postingan terbaru

Rotasi Alas Kaki untuk Lari

Sepertinya begitu saja, kebetulan yang tersisa hanya 2 sendal (walaupun yang satu agak kegedean ukurannya) dan 3 sepatu.   Tapi hanya 4 yang akan dipakai. Rencana latihanku setelah beberapa minggu trial and error sepertinya fix 5 hari saja.  Kira-kira seperti ini: Senin : Rest Selasa : 3 kilometer (pakai sandal pyoppfledge tapak ultra) - MAF Rabu : kurleb : 4-5 kilometer (pakai sandal pyoppfledge tapak v1.5) - MAF Kamis : kurleb 5 kilometer (pakai Nimbus 26) - cadence Jum'at: cross training / strength training / rest Sabtu : kurleb 5 kilometer (tapak v1.5 / nimbus 26 / Anta G21.3) - easy Minggu : longrun 21 km (pakai Anta G21.3) Sebenarnya rencana awal untuk hari rabu ingin memakai sepatu pyoppfledge Pada.  Tapi entah kenapa kerasa kurang enak pas dipake rabu kemarin.  Bikin capek yang ga nyaman. After effect nya ga asik, bikin tenaga terkuras ga jelas pula.  Akhirnya Pada dicoret dari daftar gear yang akan digunakan saat latihan. Baru ngeh kalo urusan alas kaki...

Latihan demi niat Marathon

Beruntungnya kembali tahun ini bisa mengikuti acara Borobudur Marathon, kali ini lebih parah nekadnya, mengambil pilihan marathon penuh, alias 42 km.. kepayang saja tidak, kan? Jadi saja harus latihan, dan dipaksa latihan, demi bisa finish dan baik dan motivasiku sampai saat ini cuma satu: bisa mendapatkan kaos finisher biar bisa dipamerin ntar habis acara lari.. sederhana sekali, bukan? Mengikuti hasil referensi, yang aku baca seminggu minimal berlari 40-50 km.  Walau sebagian ada yang menyarankan di atas 50 km/minggu.  Aku ambil batas bawahnya saja lah.  Soalnya sehabis long run (21 km) aja perlu recovery sekitar 70 jam idealnya. Sementara aku jadwalin seminggu kudu 5 kali berlari, 2 hari rest plus strength training.  Rest day  di senin  dan jum'at.  Hari minggu jadwalnya long run . Semoga bisa sesuai jadwal dan lancar sesuai rencana deh.   Rasanya baru kali ini aku serius latihan, ini juga gara-gara cukup banyak baca "teori" berlarian. Tentang ...

Panas Hari Pohon Habis

Jalan kaki ke warung makan langganan, siang-siang selepas jam satu, ampun dah panasnya.  Di handphone tertera angka 30 derajat, tapi aku tak percaya.  Paling tidak 35 derajat sepertinya.  Udara saja bahkan terasa mengambang. Untungnya masih ada pohon di antara kantor dan rumah makan.  Tak seperti di beberapa ruas jalan di sekitar kantor, dimana pohon dibabat habis.  Padahal hanya demi proyek trotoar tapi tega menebang pohon di pinggir jalan.  ( menggumamkan kalimat makian dan kutukan )

Menyoal Integritas

pertama, hal ini dilematis, berhubung rasanya (berdasarkan penilaian pribadi) integritasku tak baik-baik amat. kedua, tapi terkait integritas institusi, tentu saja aku tak mau ikut-ikutan merusak citra  integritas yang dibangun (atau dikondisikan).  Walaupun aku bagian dari sistem, tapi aku tak mau ikut dalam sistem (yang sengaja mau di-) rusak (dengan alasan prestise) . ketiga, aku tidak seberani orang lain yang ternyata mau melakukan cara apapun hanya untuk terlihat baik.    keempat, lagi-lagi hal dilematis karena aku toh tak bisa berbuat apa-apa selain diam dan (pura-pura) menyaksikan semuanya terjadi.

Elia dan Kelopak-kelopak Mawarnya

Sebelum bercerita tentang isi bukunya, marilah mengenang masa bertemu Elia , pengarang buku itu.  Rasanya sekitar tahun 2016-2017, malam hari di sebuah warung Mie Ongklok di pinggir jalan Magelang, Jogja.  Saat itu Elia dalam rangka mengunjungi saudaranya yang sedang bekerja di sebuah rumah di daerah yang dikelilingi area persawahan.  Oh ada juga Pito yang juga sedang sibuk mengejar tenggat kerjaannya kala itu. Anak muda itu bercerita (cukup banyak) tentang hidup dan banyak hal.  Herannya dia mau saja menjawab hal-hal apapun yang saya tanyakan.  Lalu ujug-ujug saya dikasih tas selempang dari kulit asli, yang masih saya simpan sampai saat ini.   Entah kapan kemudian saya membeli dan membaca buku karya pertamanya: Pantai Kupu-Kupu, karya yang menurutnya kurang sesuai harapan setelah lewat meja editor.  Persisnya saya lupa. Nah tahun ini, tiba-tiba ada kabar kalau anak muda itu menerbitkan bukunya lagi, kumpulan cerita tepatnya, yang ada kemiripan dalam p...

.. akhirnya ada suatu masa

 .. langkahku mungkin harus berdiam sejenak, melihat kembali genangan jejak bertahun ke belakang.  mungkin sementara (kembali) menjauh dari keramaiah dan hiruk pikuk dunia yang tak kenal waktu saling bersahutan.  terlampau banyak salah dan rasa bersalah yang mungkin tak akan termaafkan, ternyata aku tak pernah bisa menyenangkan siapa-siapa, jadi mari kembali bertapa masuk ke dalam gua.. (bahkan, bergumam pun menjadi echo di gelap kedalaman sini..)