Juni adalah pendaftaran ballot Borobudur Marathon 2025. Juli adalah pengumuman. Dinyatakan dapat slot untuk mengikuti marathon tahun ini. Iya saya nekat mendaftar untuk jarak terjauh yaitu sekitar 42,195 km. Padahal tahun 2024 saya hanya ikut 10K, tanpa ada pengalaman sebelumnya.
Dikarenakan jarak yang diikuti cukup serius. Saya yang biasa lari semau-maunya tergantung mood akhirnya mencari-cari referensi tentang teori-teori tentang lari.
Untunglah waktu selama kurang lebih 4 bulan (sebelum race) dinyatakan cukup untuk latihan intens agar siap berlari jauh. Jadi saya saya selama kurun waktu tersebut belajar menstabillkan HR, latihan cadence, belajar mengatur napas, latihan MAF, memperhatikan hidrasi, belajar fueling, strength training, memperhatikan pentingnya warming up dan cooling down, memilih sepatu yang tepat. Terakhir, berusaha mengombinasikan semua teori-teori tersebut dalam lari.
ternyata lari itu olahraga yang sederhana namun cukup rumit. banyak detail yang harus diperhatikan jika ingin tetap mempertahankan endurance tanpa cedera yang berarti. Saat bersepeda saja rasanya saya tak pernah memperhatikan detil sampai sebegitunya.
empat bulan menyimak segala macam teori di thread, di YouTube, dimanapun sambil berusaha mempraktekannya, pelan-pelan berusaha menurunkan HR (heart rate) sembari menambah jarak tempuh. Saya tak begitu peduli dengan pace, karena tahu diri dengan kondisi. Usia saya telah setengah abad tahun ini. Itu artinya berusaha menjaga HR di bawah 170 jika ingin aman saat berlari.
Latihan cukup keliling komplet, keliling RT, sesekali keliling kota, tergantung mood, hanya berusaha meraih jarak 30-40 km per minggunya. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, menjaga konsistensi dan menjauhi rasa malas (yang harusnya bisa saya praktekin saat menyusun disertasi dulu sih ya)
Sampai akhirnya, hari rabu, 12 November, empat hari sebelum race, saya mengalami kecelakaan, walaupun tak begitu parah, tapi motor yang terjatuh karena ngerem mendadak di saat aspal basah sehabis hujan itu lumayan meninggalkan jejak beset dan luka di telapak tangan dan kaki. Paling parah di lutut. Untungnya tak tepat di tempurung lututnya, tapi di sampingnya.
Itupun menyebabkan kaki kiri tak bisa ditekuk dan bergerak bebas sampai menjelang race, sholat pun hanya bisa duduk, tak bisa lagi sujud. Sad.
Untungnya bisa dirawat dengan baik dan intens. Hingga akhirnya bisa berlari di hari H. Cerita rute lari rasanya bisa banyak disimak di banyak media. Rute yang banyak tanjakan, walau menurutku sangat tertolong dengan udara dan suasana yang nyaman. Hingga walaupun campur jalan di 1/4 bagian terakhir, akhirnya bisa finish under COT di 06 jam 27 menit.
Hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya menjaga endurance sejauh 43,57 km (mungkin akibat beberapa kali zig zag di lintasan, jadinya jarak lari malah lebih jauh dari seharusnya).
Aku pikir lari marathon seperti menjaga semangat hidup, dalam kurun waktu yang cukup lama, belajar menstabilkan langkah dari garis start sampai garis finish. Walaupun sudah tahu tak bakal dapat titel juara. Bisa menuntaskan di bawah batas waktu 7 jam saja sudah sebuah pencapaian tersendiri.
Semua tak bakal bisa dilakukan seorang diri tentu saja, yang mendukung sepanjang latihan, selama perjalanan, saat hari H, tanpa ada itu tak bakal bisa memunculkan kepercayaan diri yang sering timbul tenggelam.
Saya juga belajar 'membaca tubuh'. Tak memaksa diri saat berlari. Jika dirasa sudah lelah, lari pun diganti berjalan, begitupun saat napas sudah memburu, maka langkah pun dibikin pelan dan dipendekkan.
Ujug-ujug ingat hidup yang panjangnya justru tidak diketahui manusia. Tak ketahuan garis finisnya. Bagaimana cara menjaga endurance agar bisa tetap stabil? Agar bisa terus bernapas dan melangkah dengan nyaman, dan terus bisa dipenuhi semangat.
Marathon, tujuannya untuk mencapai garis finish under COT (cut off time). Jikalau hidup, tujuannya untuk apa, bahkan tanpa mengetahui COT hidup ini kapan?
Lebih jauh lagi, bisakah finish dari kehidupan ini dengan tersenyum dan menikmati momennya?
Komentar
Posting Komentar