buka-buka arsip lagi, ternyata saya pernah bikin fiksi lain yang agak-agak nganu alur ceritanya,
lagi-lagi saya lupa judulnya, alurnya juga saya lupa, kapan bikinnya apalagi..
...
...
/
/
Sebentar saja, badai masuk ke dalam kamar itu,memporak porandakan segala rasa dan meruntuhkan logika waktu, semuanya saling berpacu, masuk ke pusaran, meliuk-liuk, deras.
/
/
/
/
..
..
.
jadi begitulah, entah kapan pikiran saya bisa dibiarkan bebas biar bisa bikin kayak gitu lagi..
.
update: ternyata fiksi ini pernah tayang di tempat lain, judulnya tentang Waktu ya biarlah, anggap aja tayang ulang haghaghag...
lagi-lagi saya lupa judulnya, alurnya juga saya lupa, kapan bikinnya apalagi..
...
...
/
@studio51
21.54
21.54
Meletakkan
gitarnya pelan, dan hati-hati sekali memasukkannya ke case yang penuh
stiker bermacam-macam. Biton menyudahi sesinya, multi efek masuk
lagi ke backpacknya. Menenteng dua benda itu keluar pintu studio.
Di pintu, sesosok gadis manis, menunggunya, tersenyum tak lepas,
lalu keluar melewati lobi, ke parkiran, tangan gadisnya tak lepas di
pinggangnya, sementara tangannya, iseng mengacak-acak rambut coklat
gadisnya.
Melangkah saja, menuju DX coklat-nya. Menstarter dan langsung melaju membelah malam, gadisnya menyandarkan kepala di bahu kirinya. Malam baru beranjak larut.
Melangkah saja, menuju DX coklat-nya. Menstarter dan langsung melaju membelah malam, gadisnya menyandarkan kepala di bahu kirinya. Malam baru beranjak larut.
/.
@warnet
11.13
11.13
Shiftnya udah
selesai, tak sabar pulang, langsung berberes-bereslah dia. Membenahi
hard disk eksternalnya, flashdisk, lalu menyerahkan segala sesuatunya
pada penggantinya. Melambaikan tangan tanda mau pulang.
Gadis itu
tersenyum-senyum sendiri, memakai sweaternya, melangkah menuju pintu
keluar, tapi tertahan di lobi yang tidak seberapa luas.
“Sudah lama,
nunggu ?” dan yang ditanya cuma menggeleng saja. Berdiri dan
menjajari langkah gadisnya, sebelum membuka pintu keluar, menjemput
helmnya di rak sebelah kanan pintu.
Terasa sekali,
panas yang langsung menampar wajah, berbanding terbalik dengan
aliran udara dingin yang terasa membelai sekujur tubuh selagi di
dalam tempat kerjanya.
Tetap tanpa
bicara, menaiki tiger sembilan enamnya, menyodorkan helm pada
penumpang di belakangnya. Meluncur laju menyusuri siang, lepas
menuju arah utara.
/.
@sudut_pantai
17.04
17.04
Masih saja
menangis sesenggukan, sejak dua belas menit yang lalu, sejak mereka
sampai di ujung pesisir itu. Suaranya sedikit tersamarkan oleh suara
ombak yang menggila. Tangis gadis itu tak jua jeda.
Sekali lagi,
lelaki di sebelahnya, mengulangi sarannya.
“Gugurkan saja, ya..”
“Gugurkan saja, ya..”
Mata sembab itu
menoleh sejenak, lalu detik kemudian. Tangisnya pecah, gemuruh ombak
pun tak kuasa lagi menutupi nya.
Langit di ufuk
pun, memerah marah.
Lelakinya, membakar sebatang lagi sigaretnya. Menghembuskan asap putihnya, pelan.
/
Lelakinya, membakar sebatang lagi sigaretnya. Menghembuskan asap putihnya, pelan.
/
@hotel_kamar263
00.12
00.12
Masih saja
tersisa aroma dua tubuh yang berbeda, tak kentara memang. Semuanya
baru saja usai beberapa saat yang lalu.
Lelaki paruh baya
itu, terlihat seperti lelah, tapi wajahnya masih memerah. Bersandar
di pinggiran ranjang, pakaian berserakan disana-sini.
Di sampingnya,
gadis muda itu, memejamkan matanya, tapi bola matanya terlihat
bergerak-gerak di balik kelopaknya. Bulir-bulir keringat, masih
tampak di dahi dan punggung putihnya. Di sekujur tubuhnya, mungkin.
Rambutnya masih berantakan, mereka seperti baru saja masuk dalam
pusaran angin maha dahsyat.
Tujuh menit
kemudian, si gadis menghela nafas, menyelubungi tubuh indahnya dengan
selimut, beranjak menuju kamar mandi di sudut kamar. Lelaki itu pun
mengikutinya. Pintu pun, perlahan ditutup.
Hawa pun, kembali
terasa menghangat, panas menyengat.
/
@paviliun_utara
Pemuda itu,
gugup, mendekati gadisnya. Nafasnya memburu. Yang didekati tak
sadar, terus saja membolak balik koran.
Baru saat
hembusan nafas hangat itu, menyapu wajahnya, terperanjat. Telapak
tangan pemuda itu, membelai wajahnya, sang gadis menutup matanya,
menunggu. Nafasnya juga mulai memburu, detak jantungnya sudah tak
beraturan, tangannya terkulai, lembaran koran berhamburan.
Mulutnya setengah
terbuka, siap akan kejadian berikutnya, masih saja menunggu.
Sebentar saja, badai masuk ke dalam kamar itu,memporak porandakan segala rasa dan meruntuhkan logika waktu, semuanya saling berpacu, masuk ke pusaran, meliuk-liuk, deras.
Lalu kemudian,
jemari telunjuk dan tengah pemuda di hadapannya, membelai pelan
bibirnya. Perlahan kedua kelopak mata yang tadi mengatup, membuka
pelan.
Wajah
dihadapannya, tersenyum, lalu mencium lembut keningnya.
“Maaf ya sayang, nyaris saja. Tapi kita belum waktunya untuk itu..”
“Maaf ya sayang, nyaris saja. Tapi kita belum waktunya untuk itu..”
Dia tersenyum
saja, salah tingkah, debur dalam dadanya, masih saja tak henti, lalu
pura-pura lagi menjemput koran yang tadi terlantar, membetulkan
duduknya, merapikan pakaiannya..
Tapi masih saja,
terasa serba salah.
/
@bandara
15.43
15.43
Orang lalu lalang
tiada henti, ada yang menjemput, ada yang dijemput. Lelaki
itu,tumben saja rapi, termasuk dalam kategori yang pertama.
Menjemput ibu gadisnya, mau diperkenalkan padanya, katanya tadi.
Mereka tidak bersamaan kesitu tadi, Biton harus mampir ke studio
sebentar, menyelesaikan track demo terakhirnya.
Matanya
mencari-cari, sementara itu, seseorang memegang pundaknya.
“Menunggu
siapa, Ton ?” Suara yang dikenalnya itu, membuat badannya
membalik.
“eh, menjemput siapa, pak ?” Mencium tangan lelaki dihadapannya dengan takzim.
“eh, menjemput siapa, pak ?” Mencium tangan lelaki dihadapannya dengan takzim.
“Menjemput
relasi bapak. Kamu menjemput siapa ?” Tanya lelaki itu
lagi.
“Menjemp.. nah itu dia, pak. Sekalian deh aku kenalin, calon mantu dan besan bapak sekaligus”Katanya terkekeh.“Sebentar ya, pak..”
“Menjemp.. nah itu dia, pak. Sekalian deh aku kenalin, calon mantu dan besan bapak sekaligus”Katanya terkekeh.“Sebentar ya, pak..”
Lalu langkahnya
cepat menghampiri dua wanita dua generasi itu, gadis yang cantik dan
mekar, serta wanita setengah baya di sebelahnya, yang masih
memperlihatkan gurat kecantikan masa muda di wajahnyanya.
Mengambil alih
travel bag dari wanita tadi, menyeretnya ke arah bapaknya, yang lagi
melihat-lihat ke arah lain.
“Pak, ini
perkenalkan Remia, gadisku yang sering kuceritakan itu. Dan ini
ibunya..” Biton menggamit lengan bapaknya.
Gadis yang
diperkenalkannya itu, membeku. Wajahnya pucat.
Sementara ibunya,
tak kalah terperanjat, memucat pula. Ada luka dan sedikit dendam
sekaligus rindu yang tertahan di wajahnya.
Tapi, tak urung,
tangannya terulur.
“Kamu, apakabarnya ?” Suaranya jelas bergetar. Masa lalu seakan menggempurnya saat itu, menyelimutinya dengan kilas balik, akan segala kisah cinta terlarang mereka di masa muda, saat mereka terpaksa berpisah ke dua kota, dua pulau yang berbeda. Tanpa pernah ada komunikasi lagi, dan tak ada yang berusaha menghubungi satu sama lain.
“Kamu, apakabarnya ?” Suaranya jelas bergetar. Masa lalu seakan menggempurnya saat itu, menyelimutinya dengan kilas balik, akan segala kisah cinta terlarang mereka di masa muda, saat mereka terpaksa berpisah ke dua kota, dua pulau yang berbeda. Tanpa pernah ada komunikasi lagi, dan tak ada yang berusaha menghubungi satu sama lain.
Sementar lelaki
dihadapannya, berlipat terkejutnya, dan tak bisa tertutupi, tak
bisa.
Tatapannya nanar, sementara gadis muda tertunduk dalam, menahan napas, tak bisa berkata apa-apa.
Tatapannya nanar, sementara gadis muda tertunduk dalam, menahan napas, tak bisa berkata apa-apa.
Biton cuma bisa
terkesima, sungguh tak mengerti, tak tahu apa ada sebenarnya di balik
pertemuan mereka di satu titik, sore itu. Yang iya tau, sejenak
kemudian, gadisnya lunglai lalu tak sadarkan diri.
/
@rumah_gubuk
08.17
08.17
Seorang ibu tua,
menghampiri gadis muda yang terbaring di dipan bambu di kamar yang
sangat sederhana itu, dindingnya juga dari bambu, berlantai tanah.
Tangannya
memegang cangkir kaleng berisi ramuan yang berbau sungguh tak
bersahabat dengan hidung, mendekatkannya ke mulut gadis yang terlihat
mulai pucat. Ragu-ragu dia meminumnya, dan baru seteguk, perutnya
sudah berontak, melilit-lilit.
“Pelan-pelan,
nduk.. Minum sampai habis”
Sambil menutup
hidungnya, dan menahan rasa mual hebat, dihabiskannya dengan berusaha
cepat-cepat, rasa getir bercampur rasa yang tak pernah dikecap
lidahnya itu, membuatnya pusing, matanya nanar.
“Sekarang
tahan, ya. Cuma sebentar..” Kemudian, kedua tangan ibu tua itu,
mengarah ke perutnya, mengurutnya pelan. Sangat pelan.
Teriakannya
tertahan oleh kain yang digigitnya, matanya melotot, membiaskan rasa
sakit yang luar biasa. Cepat saja, dunia terasa berputar, meredup,
lalu gelap.
Sementar di luar,
di atas motor yang terparkir. Seorang lelaki muda gelisah, sangat
gelisah.
/
@kos_lantai2
19.19
19.19
“Kamu jangan
main-main, ! “ Suaranya meninggi dan setengah membentak.
“Lihat sendiri,
nih “ Setengah kesal, tanpa persetujuan, video player di telepon
genggam itu di play.
Dan sosok yang sangat dikenal dan dipujanya, menjadi pemain utama di rekaman itu. Wajahnya tampak menunggu, mengundang.
Dan sosok yang sangat dikenal dan dipujanya, menjadi pemain utama di rekaman itu. Wajahnya tampak menunggu, mengundang.
Baru tau menit,
telepon itu sudah tak berbentuk, direbut paksa, lalu dilempar sekuat
tenaga ke dinding. Jatuh kelantai, di injak-injak pula. Murka.
Kawannya hanya
bisa diam, mengikuti bayang si murka menuruni anak tangga dengan
cepat.
/
@parkiran_showroom
09.15
09.15
Bergegas
mendekati kantor kecil, di sayap kanan bangunan. DX nya di parkir
sembarangan saja. Karyawan membiarkannya saja, sudah biasa begitu.
Kantor baru saja buka satu jam, tapi antrian pelanggan belum banyak.
Kali ini,
langkahnya lebih cepat dari biasanya.
Membuka pintu, melihat sosok yang dicarinya, sedang menata berkas di atas meja. Mengangkat wajahnya, dan tersenyum melihat siapa yang datang.
Membuka pintu, melihat sosok yang dicarinya, sedang menata berkas di atas meja. Mengangkat wajahnya, dan tersenyum melihat siapa yang datang.
“Pagi sekali,
ada apa...” Kalimatnya terhenti. Terputus.
Benda yang
sedari tadi tersembunyi di punggung sang tamu, tertuju tepat ke
keningnya, memuntahkan isinya.
Pagi yang damai
itu, pecah.
/
@lereng_gunung
dua tahun kemudian
dua tahun kemudian
Matahari baru
saja mulai meninggi, tapi persawahan itu sudah begitu ramai. Kabut
masih malas meninggalkan sebagian sisi lereng. Sekilas, petak-petak
sawah itu seperti membentuk formasi kue waffel.
Seorang lelaki,
mengelap keringat di dahinya, lalu kembali mengendalikan kerbau di
hadapannya, petak terakhir yang digarapnya, sebelum menancapkan
anakan padi. Tak terlihat sedikit pun lelah, malah terpancar bahagia
di mukanya.
Tak lama, seorang
perempuan, melambaikan tangan padanya, membawa sesuatu, ah makan
rupanya.
“Bang, ayo
makan dulu.. !” Ada senyum terindah disitu.
Yang dipanggil
tersenyum, menghentikan laju pekerjaannya. Menghampiri perempuannya,
mencium pipinya.
“Kotor, ih..”
Perempuannya terkikik tersipu. Sambil mengelus perutnya yang mulai
membesar.
Sekali lagi mencium lembut kening perempuannya.
Pagi sudah tak ada lagi,
matahari pun benar-benar meninggi.
Sekali lagi mencium lembut kening perempuannya.
Pagi sudah tak ada lagi,
matahari pun benar-benar meninggi.
Tapi, damai tak
henti menghangati bumi.
....
..
.
jadi begitulah, entah kapan pikiran saya bisa dibiarkan bebas biar bisa bikin kayak gitu lagi..
.
update: ternyata fiksi ini pernah tayang di tempat lain, judulnya tentang Waktu ya biarlah, anggap aja tayang ulang haghaghag...
entah kenapa aku merasakan 'nyawa' ngerumpi dot com dalam tulisan ini. Mungkin aku lagi kangen aja, hahaha. Aku kangen bisa nulis fiksi tanpa memikirkan apakah penulisannya baik, diksinya bagus, atau alurnya nggak bolong.
BalasHapusAku kangen menulis seperti saat aku tidak tahu apa-apa.
iya je, ayolah nulis lagi, ga usah pake mikir lama sesekali :D
Hapus