Kampus saya waktu S1 dulu, entah kenapa, beberapa orang sekarang mempersalahkan singkatannya. Universitas Lambung Mangkurat, sekarang ada yang ingin disingkat dengan ULM, dan sepertinya harian Banjarmasin Post yang gencar memberitakannya. Maklum saja, pimpinan perusahaan surat kabar itu entah sudah berapa jilid menjadi ketua IKA alias ikatan alumni. Yang beberapa waktu yang lalu sibuk menghabiskan dana ratusan juta hanya untuk bikin pintu gerbang doang. Tak kreatif dan tak produktif sekali.
Salah satu pemicunya, konon karena orang di negara lain sering salah kaprah, mengira Unlam, singkatan asal dan aslinya, adalah merupakan akronim dari Universitas Lampung, yang padahal disingkat Unila.
Menurut saya, sebagai salah satu alumnus Unlam, masalah bukan di singkatan yang dianggap kurang ngehits dan kurang dikenal itu. Tapi memang usaha Unlam untuk terkenal dan dikenal di seluruh penjuru nusantara ini masih kurang. Contoh nyatanya, saya yang tak punya prestasi sama sekali waktu kuliah. Tak ada juga dukungan di lingkungan kampus yang mendorong untuk menciptakan suasana itu. Aroma kompetisi cuma sekilas lalu saja. Paling tidak di benak saya ya begitu.
Para pengajarnya, dulu lebih sibuk dengan proyek dibanding majuin kampus, bikin mahasiswanya agar bisa maju dan muncul di ajang nasional lah paling tidak. Motivasi jarang didapatkan, atau malah nyaris tidak ada.
Fasilitas kampus? Laboratorium jurusan saja tidak ada. Sampai-sampai dosen yang ingin melakukan penelitian, terpaksa ngungsi ke lab universitas tetangga. Juga lingkungan kampus yang entah sudah berapa tahun tidak tertata dengan baik.
Padahal, beberapa dosen dan petinggi kampus,petinggi universitas, kebanyakan lulusan luar, paling tidak luar pulau, selain beberapa yang dari luar negeri. Tapi kok ya pengalaman menarik kulish di kampus berfasilitas oke tidak diterapkan di kampus sendiri. Ujug-ujug bahkan ada yang nekat nilep dana untuk pembangunan fasilitas kampus beberapa waktu yang lalu.
Pengamatan sekilas saya, anggap saja opini pada situasi terkini. Sibuk membuka jurusan baru, terutama di tingkat pasca sarjana. Entahlah tujuannya untuk akreditasi atau sekedar memenuhi hasrat beberapa orang yang ingin kuliah lanjutan tapi tak ingin jauh-jauh dari 'tempat tinggal'. Saya juga kurang tahu sejauh apa persiapan untuk itu.
Lalu, bagian kedua.
Saya membaca koran barusan. Beberapa petinggi di kampung saya mendapatkan penghargaan sebagai semacam pembina berkualitas dari sebuah majalah yang saya baru tahu namanya, yang juga konon didukung oleh asosiasi bos daerah seluruh negeri ini.
Say cuma bingung pemilihan kriterianya gimana, metode penilaiannya bagaimana. Katanya berdasarkan survei, lha itu respondennya gimana. Tahu-tahu muncul beberapa nama, dan yang lucu, seperti yang sudah-sudah yang eksis menerima penghargaan jadi rombongan.
Saya curiga itu semacam metode pintar nyari duit. Undang orang-orang penting, kasih penghargaan, bikin panitia, jadi duit. Iya saya suudzon begini, karena ah sudahlah. Mungkin saya cuma sekedar ngiri karena pinternya orang-orang itu nyari duit dengan berbagai macam cara, sementara saya cuma bisa ngomel-ngomel nggak jelas disini.
Salah satu pemicunya, konon karena orang di negara lain sering salah kaprah, mengira Unlam, singkatan asal dan aslinya, adalah merupakan akronim dari Universitas Lampung, yang padahal disingkat Unila.
Menurut saya, sebagai salah satu alumnus Unlam, masalah bukan di singkatan yang dianggap kurang ngehits dan kurang dikenal itu. Tapi memang usaha Unlam untuk terkenal dan dikenal di seluruh penjuru nusantara ini masih kurang. Contoh nyatanya, saya yang tak punya prestasi sama sekali waktu kuliah. Tak ada juga dukungan di lingkungan kampus yang mendorong untuk menciptakan suasana itu. Aroma kompetisi cuma sekilas lalu saja. Paling tidak di benak saya ya begitu.
Para pengajarnya, dulu lebih sibuk dengan proyek dibanding majuin kampus, bikin mahasiswanya agar bisa maju dan muncul di ajang nasional lah paling tidak. Motivasi jarang didapatkan, atau malah nyaris tidak ada.
Fasilitas kampus? Laboratorium jurusan saja tidak ada. Sampai-sampai dosen yang ingin melakukan penelitian, terpaksa ngungsi ke lab universitas tetangga. Juga lingkungan kampus yang entah sudah berapa tahun tidak tertata dengan baik.
Padahal, beberapa dosen dan petinggi kampus,petinggi universitas, kebanyakan lulusan luar, paling tidak luar pulau, selain beberapa yang dari luar negeri. Tapi kok ya pengalaman menarik kulish di kampus berfasilitas oke tidak diterapkan di kampus sendiri. Ujug-ujug bahkan ada yang nekat nilep dana untuk pembangunan fasilitas kampus beberapa waktu yang lalu.
Pengamatan sekilas saya, anggap saja opini pada situasi terkini. Sibuk membuka jurusan baru, terutama di tingkat pasca sarjana. Entahlah tujuannya untuk akreditasi atau sekedar memenuhi hasrat beberapa orang yang ingin kuliah lanjutan tapi tak ingin jauh-jauh dari 'tempat tinggal'. Saya juga kurang tahu sejauh apa persiapan untuk itu.
Lalu, bagian kedua.
Saya membaca koran barusan. Beberapa petinggi di kampung saya mendapatkan penghargaan sebagai semacam pembina berkualitas dari sebuah majalah yang saya baru tahu namanya, yang juga konon didukung oleh asosiasi bos daerah seluruh negeri ini.
Say cuma bingung pemilihan kriterianya gimana, metode penilaiannya bagaimana. Katanya berdasarkan survei, lha itu respondennya gimana. Tahu-tahu muncul beberapa nama, dan yang lucu, seperti yang sudah-sudah yang eksis menerima penghargaan jadi rombongan.
Saya curiga itu semacam metode pintar nyari duit. Undang orang-orang penting, kasih penghargaan, bikin panitia, jadi duit. Iya saya suudzon begini, karena ah sudahlah. Mungkin saya cuma sekedar ngiri karena pinternya orang-orang itu nyari duit dengan berbagai macam cara, sementara saya cuma bisa ngomel-ngomel nggak jelas disini.
Komentar
Posting Komentar